2. Ayah yang Disiplin
    
Masa kanak-kanakku kulalui dengan kehidupan yang penuh disiplin dan tata tertib yang sangat keras. Sebab dirumah yang kudiami, kami tidak tinggal dengan sebelas orang bersaudara saja, tetapi juga ada saudara-saudara sepupuku yang menetap dirumah itu.

Maklum saja di kampungku ayahku adalah orang satu-satunya yang berpendidikan dan menjadi pegawai negeri yang mempunyai kedudukan cukup tinggi waktu itu dan tinggal di kota Denpasar. Dengan ukuran rumah yang cukup luas, maka wajarlah saudara-saudara sekampungku yang menuntut ilmu di kota Denpasar menetap di rumahku.

Tidak heran kalau rumah itu bisa ditempati sampai dua puluh lima orang lebih. Belum lagi orang-orang sekampung yang sakit dan harus opname di RSU Wangaya satu-satunya rumah sakit di kota Denpasar waktu itu, maka penduduk rumah itu bisa penuh sesak.

Kadangkala ada juga di antara mereka yang datang dengan membawa beras, sayur mayur ataupun ketela sampai dengan buah kelapa. Tapi kami hidup dalam suasana yang nyaman dan penuh kedamaian.

Ibuku adalah seorang ibu yang periang dan sangat ramah kepada masyarakat di kampung dan masyarakat di lingkungan rumahku yang terletak di jalan Rambutan nomor sebelas itu. Ibuku setiap harinya ke pasar Satria yang tidak jauh dari rumahku, bisa sampai tiga kali dalam sehari. Beliau tidak membedakan apakah kami anak kandungnya ataukah saudara sepupu. Semua mendapat jatah makan yang sama.
    
Ada kenikmatan tersendiri hidup bersama dalam keluarga besar seperti itu, terutama saat-saat berebut makanan. Anehnya, meskipun menu makanan kami tidaklah mewah, tetapi masakan ibu ternyata sangat luar biasa terasa di lidah anak-anaknya.

Sampai sekarang masih membekas dan terbayang setiap aku makan di rumah ataupun di restoran. Menurutku, tidak ada yang lebih hebat dari masakan ibuku.

Kadangkala ada penyesalan dalam diriku saat-saat aku makan daging dendeng sapi, sebab dulu aku sering mencuri daging dendeng sapi itu untuk malam-malam kupanggang di balon/lampu listrik kamarku. Walaupun tidak setengah matang, sangat kurasakan nikmat daging hasil curianku itu.

Tapi kenakalanku belum seberapa kalau dibandingkan dengan kenakalan kakakku yang nomor lima. Dia malah tidak segan-segannya memanjat almari makanan yang berisi empat lubang tempat makanan. Tiba-tiba almari beserta isinya tumpah menimpa lengan kanannya hingga patah dan menyisakan jahitan di lengannya yang membekas sampai akhir hidupnya.

Kami semua menjadi begitu dekat dengan ibu dan selalu berebut untuk bisa tidur dengan ibu. Seperti ditradisikan oleh ibuku kemudian, hanya dua orang yang boleh tidur bersama ibu. Ketika aku menjadi anak paling bungsu, aku mendapatkan hak tidur dalam pelukannya sambil disusui dan kakakku mendapat bagian di bagian kaki ibu. Ketika adikku lahir, aku harus bersiap mendapat bagian di bagian kaki beliau karena adikkulah yang akan mengambil alih posisiku berada dipelukan ibu. Sedang kakakku harus mengungsi ke kamar lain bersama kakak-kakakku.
    
Sebagai orang bersaudara banyak, sejak kecil kami sudah dilatih mandiri. Tidak ada istilah antar-jemput pulang dari sekolah. Pernah terjadi karena kami baru pindah dari Singaraja ke Denpasar dan menetap di jalan rambutan  yang berada di kawasan banjar Belaluan, kakakku yang nomor lima pernah hilang dari pagi hingga sore hari.

Waktu itu orang-orang menyebut tempat tinggalnya dengan menyebut nama banjar dan hampir tidak pernah menyebut nama jalan. Pulang sekolah, kakakku baru pulang dari sekolah di SD 1 (dulu sekolah rakyat) yang terletak di Kayumas Kelod (jalan Letda Reta sekarang ) lupa dengan alamat rumah.
    
Seorang yang baik hati ingin mengantar kakakku ke rumah. Saat ditanya di mana rumahnya, sambil menangis dia bilang tinggal di Balun (jalan Dr. Sutomo), bukannya di Belaluan (jalan Rambutan). Tentu saja tidak ketemu. Syukurnya penduduk kota Denpasar masih jarang waktu itu. Seisi rumah menjadi heboh karena kakakku tidak pulang sampai sore. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016