1. MASA PENJAJAHAN JEPANG

Saat Negeri Matahari Terbit para serdadunya mencengkeramkan kakinya di pulau Bali, saat itulah aku dilahirkan. Tepatnya di bulan Januari tanggal dua puluh satu tahun 1944, ketika seru-serunya peperangan serdadu Jepang melawan sekutu, seorang bayi sebagai seorang putra yang ketujuh telah lahir di Kota Singaraja-Bali Utara dengan diberi nama I Gusti Bagus Arthanegara.

Ayahku bernama I Gusti Gde Oka Puger sebagai pegawai Dewan Raja-raja waktu itu dengan pangkat seorang Clerk menikahi seorang wanita sekampungnya dari desa Sembung-Mengwi bernama I Gusti Ayu Alit. Bisa dibayangkan betapa beratnya tantangan hidup yang harus dihadapinya sebagai orang tua dalam masa pendudukan penjajahan Belanda yang kemudian digantikan penjajah Jepang dengan tujuh orang putra-putri .

Apalagi yang tujuh orang itu sampai dengan masa kemerdekaan berkembang menjadi sebelas orang dengan lahirnya adikku yang paling bungsu di tahun 1955. Apalagi sebagai seorang Pegawai Dewan Raja-Raja, ayahku harus berpindah-pindah. Mulai dari Denpasar pindah tugas ke Karangasem, lalu pindah ke Singaraja dan terakhir pindah ke Denpasar sebagai Pegawai Tinggi Kantor Gubernur Provinsi Bali.
       
Sebagai orang yang dilahirkan di masa zaman penjajah, kata ibuku hidup itu sangat sulit. Sandang dan pangan sangat sulit didapat. Belum lagi sebentar-sebentar suara dentuman bom pesawat dan suara tembakan selalu saja menghiasi kehidupan kota. Pengungsian hampir tiap hari terjadi.

Di saat kehidupan yang serba susah itu, sikecil I Gusti Bagus Arthanegara yang bertumbuh dengan badanya yang kurus karena kurangnya gizi, selalu saja masih meminta makanan yang sulit didapat waktu itu. Ibuku sering bercerita, aku bisa menangis sepanjang hari kalau tidak diberi makan pisang. Yang  lebih payah lagi, pisang yang kumakan haruslah pisang susu. Kalau tidak pisang susu, maka aku akan terus  dan terus menangis.

Dalam susahnya hidup sebagai pengungsi korban perang, ibuku juga dengan susah payah mencarikan aku pisang susu supaya aku berhenti menangis. Beliau tidak pernah mau menyerah menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit ini. Belum lagi beliau harus berjuang untuk memenuhi tuntutan hidup enam orang kakak-kakakku yang sudah ada waktu itu. Mereka perlu makan, pakaian dan pendidikan.

Sampai sekarang aku tidak bisa menemukan jawaban bagaimana ibu dan ayahku harus berjuang menghidupi putra-putrinya yang begitu banyak untuk ukuran dulu dan sekarang sehingga dari sebelas orang bersaudara itu, tidak seorangpun yang tidak berpendidikan. Bahkan dengan karir yang tidak terlalu mengecewakan, sebab sampai kami pensiun sekarang ini semua putra-putrinya mengakhiri karirnya,  ada yang sebagai pensiunan Kepala Sekolah, Hakim Agung, Kepala Daerah POS Bali, NTB, NTT dan Timor Timur, asisten Sekwilda Kabupaten, Dosen Perguruan Tinggi, Dokter dll.

Sulit dibayangkan pada masa-masa susah seperti itu, kami bisa sempat menikmati pendidikan, padahal di Bali pada masa-masa itu, sekolah tingkat SLTA saja belum ada. Tapi kakak-kakakku sudah bisa disekolahkan ke Makasar, Surabaya dan Bandung. Baru aku menginjak remajalah di Denpasar dibuka satu SMA Negeri dan satu Perguruan Tinggi Universitas Udayana. Tapi aku tetap bersyukur, karena sebagai anak manusia yang lahir di tengah kancah peperangan menjelang masa kemerdekaan Republik Indonesia, aku bisa dibesarkan dengan bekal pendidikan bersama-sama sepuluh orang saudara-saudaraku.

Kebanggaanku yang lain, ayahku sendiri telah memberikan contoh yang nyata yang telah menjadi panutan putra-putrinya. Masa beliau remaja pada zaman penjajahan Belanda pada saat tidak setiap orang pribumi bisa mengenyam pendidikan, ayahku justru telah mendapat kesempatan mengikuti sekolah MULO di kota Malang.
     
Sebuah tempat yang tak terbayangkan jauhnya bagi orang-orang “pribumi” saat itu. Sehingga untuk di kampungku, beliau merupakan putra daerah pertama dan satu-satunya yang mendapat pendidikan seperti itu. Mungkin karena beliau keturunan bangsawan yang memang merupakan salah satu syarat bagi siapa saja orang Indonesia yang ingin bersekolah lebih tinggi dari tingkat SLTP waktu itu. Dan dengan pendidikan itu pula ayahku bisa meraih posisi di pemerintahan yang masih dibawah kekuasaan penjajah. Mulai dari clerk, comische dan pensiun dengan jabatan Pegawai Tinggi Tata Praja di Kantor Gubernur Provinsi Bali. Aku sendiri tidak mengerti dengan jabatan apa yang setara dengan jabatan itu sekarang ini.  Cuma, yang kutahu, di pundak ayahku ada dua bintang kuning mas sama persis dengan yang dipakai oleh para bupati pada waktu itu.

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015