Sanur (Antara Bali) - Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Achmad Dimyanti Natakusumah mengatakan, perekrutan hakim di Indonesia seharusnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA), agar tidak terjadi permasalahan tumpang tindih ke depannya.

"Untuk perekrutan hakim itu seharusnya menjadi kewenangan MA, namun Komisi Yudisial (KY) terkadang ikut masuk mengambil kewenangan MA, sehingga sering terjadi gesekan kewenangan," ujarnya di Sanur, Denpasar, Bali, Kamis.

Seharusnya, KY mengawal tugas hakim agar tidak terjadi tarik menarik antar kedua lembaga penegak hukum itu, apabila kedua lembaga ini saling bergesekan, maka dampaknya kepada masyarakat yang nantinya menilai kedua lembaga negara ini sama sama ingin berkuasa dan ingin menjadi paling berwenang.

"Apabila ini terus terjadi akan merugikan masyarakat yang tidak memiliki rasa keadilan sesuai amanah Pancasila," ujarnya.

Ia menegaskan apabila proses yang tidak sejalan, maka akan menghasilkan produk keadilan yang bagus sehingga harus diluruskan.

Natakusuma mencontohkan, gesekan-gesekan yang terjadi di Kepolisian, Kejaksaan dan KPK itu disebabkan karena yang membentuk Undang-Undang tersebut yang sistemnya harus jelas untuk mengantisipasi hal-hal itu.

Ia mengharapkan, periode ini kewenangan Undang-Undang Dasar (UUD) harus betul-betul diatur agar posisinya lebih jelas. "Apabila Undang-Undang bertentangan dengan TAP MPR atau sebaliknya TAP MPR bertentangan dengan kostitusi, maka hal itu harus diatur secara jelas," katanya.

Untuk itu, pihaknya akan berupaya bagaimana menampung aspirasi sehingga MPR menghasilkan produk institusi yang universal dan tidak gampang diubah. "Jangan sampai ada konstitusi yang vacum sehingga meminalisir permasalahan," ujarnya.

Penyelenggara lembaga negara perlu melibatkan para orang-orang bijaksana dan mengerti aturan yang mau turun ke masyarakat bawah untuk mendengar dan menamung semua aspirasi itu.

Sebelum perubahan konstitusi, Indonesia hanya memiliki satu lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Agung melakukan tugas "judicial review", pengawasan dan fatua konstitusional Undang-Undang, namun saat reformasi dipecah menjadi tiga lembaga tinggi negara,

Sedangkan, dimasing-masing inspektorat juga tidak boleh mengangkat hakim, namun sifatnya dalam proses dan setelah perekrutan hakim itu yang seharusnya menjadi perhatian MPR RI untuk meluruskan konstitusi itu agar tugas pokok dan fungsi dimasing-masing lembaga sejalan dan searah.

"Apabila terjadi bersinggungan, maka yang patut dipersalahkan yakni pembentuk Undang-Undang itu," ujarnya.

Natakusuma menuturkan, yang terjadi saat ini Mahkamah Konstitusi (hakim) justeru tidak mau diawasi Komisi Yudisial karena tidak memiliki `superm`. Padahal, kedua lembaga negara itu ada dalam konstitusi. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Made Surya

Editor : I Made Surya


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015