Cape Canaveral (Antara Bali) - Air asin mengalir di Mars selama
bulan-bulan musim panas, meningkatkan kemungkinan bahwa planet yang
sekian lama dikira kering itu bisa mendukung kehidupan sekarang, kata
ilmuwan yang menganalisis data dari pesawat Badan Antariksa Amerika
Serikat, Senin (28/9).
Meski sumber air dan bahan kimianya belum diketahui, temuan itu akan mengubah pemikiran para ilmuwan tentang apakah planet paling mirip Bumi di sistem tata surya itu memiliki tempat hidup mikrobia di bawah kerak radiasinya.
"Itu menunjukkan bahwa itu sekarang Mars memungkinkan untuk kehidupan," kata John Grunsfeld dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) tentang hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience.
"Mars tidak kering, planet kering yang kita kira pada masa lalu. Dalam kondisi tertentu, air cair ditemukan di Mars," kata Jim Green, direktur ilmu planet NASA.
Tapi NASA tidak akan terburu-buru mencari residu air asin baru yang ditemukan. "Jika saya mikroba di Mars, Saya mungkin tidak akan tinggal di salah satu (tempat) ini. Saya akan tinggal lebih jauh ke utara atau selatan, cukup jauh di bawah permukaan dan di mana lebih banyak gletser air segar. Kami hanya menduga tempat-tempat itu ada dan kami punya beberapa bukti ilmiah bahwa mereka ada," kata Grunsfeld.
Aliran air itu ditemukan ketika para ilmuwan mengembangkan teknik baru untuk menganalisis peta bahan kimia permukaan Mars yang didapat oleh pesawat pengintai Mars Reconnaissance Orbiter NASA. Mereka menemukan petunjuk jejak garam yang terbentuk hanya dengan keberadaan air di lintasan sempit yang memotong dinding tebing di seluruh kawasan ekuatorial planet itu.
Lereng yang keberadaannya pertama dilaporkan tahun 2011 itu muncul selama bulan-bulan musim panas yang hangat di Mars, kemudian menghilang ketika suhu turun. Jejak bahan kimia dari mineral-mineral yang terhidrasi juga demikian menurut hasil studi itu.
Para ilmuwan menduga lapisan yang disebut lereng berulang lineae (Recurring Slope Lineae/RSL) dipotong oleh aliran air tapi sebelumnya tidak bisa melakukan pengukuran. "Saya kira tidak ada harapan," kata Lujendra Ojha, mahasiswa Georgia Institute of Technology dan penulis utama makalah ilmiah itu kepada kantor berita Reuters.
Mars Reconnaissance Orbiter melakukan pengukuran selama hari-hari terpanas di Mars karenanya para ilmuwan yakin jejak air apapun, atau jejak mineral terhidrasi, akan menguap. Instrumen pengindera bahan kimia di pesawat tidak bisa membawa pulang data-data detail seperti lintasan sempit yang lebarnya biasanya kurang dari lima meter. Tapi Ojha dan koleganya membuat program komputer yang bisa meneliti secara cermat piksel-piksel individual.
Data itu kemudian dihubungkan dengan gambar-gambar beresolusi tinggi dari lintasan-lintasan itu. Para ilmuwan berkonsentrasi pada lintasan terluas dan menghasilkan 100 persen kecocokan dengan lokasi mereka dan deteksi garam-garam terhidrasi. Temuan itu "mengonfirmasi bahwa air berperan penting dalam fitur ini" menurut ilmuwan planet Alfred McEwen dari University of Arizona. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Meski sumber air dan bahan kimianya belum diketahui, temuan itu akan mengubah pemikiran para ilmuwan tentang apakah planet paling mirip Bumi di sistem tata surya itu memiliki tempat hidup mikrobia di bawah kerak radiasinya.
"Itu menunjukkan bahwa itu sekarang Mars memungkinkan untuk kehidupan," kata John Grunsfeld dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) tentang hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience.
"Mars tidak kering, planet kering yang kita kira pada masa lalu. Dalam kondisi tertentu, air cair ditemukan di Mars," kata Jim Green, direktur ilmu planet NASA.
Tapi NASA tidak akan terburu-buru mencari residu air asin baru yang ditemukan. "Jika saya mikroba di Mars, Saya mungkin tidak akan tinggal di salah satu (tempat) ini. Saya akan tinggal lebih jauh ke utara atau selatan, cukup jauh di bawah permukaan dan di mana lebih banyak gletser air segar. Kami hanya menduga tempat-tempat itu ada dan kami punya beberapa bukti ilmiah bahwa mereka ada," kata Grunsfeld.
Aliran air itu ditemukan ketika para ilmuwan mengembangkan teknik baru untuk menganalisis peta bahan kimia permukaan Mars yang didapat oleh pesawat pengintai Mars Reconnaissance Orbiter NASA. Mereka menemukan petunjuk jejak garam yang terbentuk hanya dengan keberadaan air di lintasan sempit yang memotong dinding tebing di seluruh kawasan ekuatorial planet itu.
Lereng yang keberadaannya pertama dilaporkan tahun 2011 itu muncul selama bulan-bulan musim panas yang hangat di Mars, kemudian menghilang ketika suhu turun. Jejak bahan kimia dari mineral-mineral yang terhidrasi juga demikian menurut hasil studi itu.
Para ilmuwan menduga lapisan yang disebut lereng berulang lineae (Recurring Slope Lineae/RSL) dipotong oleh aliran air tapi sebelumnya tidak bisa melakukan pengukuran. "Saya kira tidak ada harapan," kata Lujendra Ojha, mahasiswa Georgia Institute of Technology dan penulis utama makalah ilmiah itu kepada kantor berita Reuters.
Mars Reconnaissance Orbiter melakukan pengukuran selama hari-hari terpanas di Mars karenanya para ilmuwan yakin jejak air apapun, atau jejak mineral terhidrasi, akan menguap. Instrumen pengindera bahan kimia di pesawat tidak bisa membawa pulang data-data detail seperti lintasan sempit yang lebarnya biasanya kurang dari lima meter. Tapi Ojha dan koleganya membuat program komputer yang bisa meneliti secara cermat piksel-piksel individual.
Data itu kemudian dihubungkan dengan gambar-gambar beresolusi tinggi dari lintasan-lintasan itu. Para ilmuwan berkonsentrasi pada lintasan terluas dan menghasilkan 100 persen kecocokan dengan lokasi mereka dan deteksi garam-garam terhidrasi. Temuan itu "mengonfirmasi bahwa air berperan penting dalam fitur ini" menurut ilmuwan planet Alfred McEwen dari University of Arizona. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015