Deru mesin pesawat berbadan lebar yang relatif membisingkan dan memekakkan telinga di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali tiba-tiba sirna saat umat Hindu di Pulau Dewata menunaikan Tapa Beratha Penyepian menyambut Tahun Baru Saka 1937, Sabtu.

Bandara Ngurah Rai, satu-satunya pintu masuk pulau surga lewat udara serta enam pelabuhan laut lainnya ditutup sementara selama 24 jam, sejak Sabtu pukul 06.00 WITA sebelum matahari terbit hingga Minggu (22/3) pukul 06.00 WITA.

Penutupan Bandara Ngurah Rai ini merupakan ke-17 kali sejak 1999, sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Kementerian Perhubungan Nomor AU 126961/DAU/7961/99 tertanggal 1 September 1999 dan diperkuat Surat Edaran Gubernur Bali Made Mangku Pastika.

Hal itu menjadikan hiruk pikuk keseharian daerah tujuan wisata utama Indonesia itu sirna ditelan keheningan dan kedamaian, hanya suara alam dari pepohonan yang tertiup angin terdengar ketika umat Hindu Bali menunaikan ibadah Tapa Beratha Penyepian.

Kehidupan yang sunyi senyap saat umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi telah diwarisi puluhan abad, yakni sejak abad pertama yang kali ini merupakan peralihan tahun baru saka dari 1936 ke 1937, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr. Jero Ketut Sumadi.

Bali berpenduduk hampir empat juta jiwa, setiap harinya menerima tidak kurang dari 10.000 wisatawan mancanegara yang langsung terbang dari negaranya itu. Pada hari yang istimewa itu bagaikan pulau mati tanpa penghuni karena tidak ada aktivitas apa pun.

Suasana lengang jauh dari kebisingan mesin kendaraan bermotor itu terasa mampu mewujudkan kedamaian, keheningan, dan bebas polusi saat umat Hindu melaksanakan Tapa Beratha Penyepian, yakni empat pantangan yang meliputi tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang, atau hura-hura (amati lelanguan).

Oleh sebab itu, seluruh lembaga penyiaran di Bali telah sepakat menghentikan sementara siaran selama 24 jam.

Kesepakatan dan komitmen seluruh stasiun penyiaran, baik televisi dan radio, itu merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan kearifan lokal Pulau Dewata.

Meski sepi dan sunyi, di Banjar Ole, Desa Marga, 21 km barat laut Denpasar itu hanya terdengar jelas suara kotek dan kokokan ayam saling bersautan.

Suasana hening, damai dan nyaman itu seirama embusan angin basah serta gesekan daun dan ranting pepohonan di daerah yang masih menghijau dan lestari di daerah gudang beras Kabupaten Tabanan.

Perayaan Hari Suci Nyepi yang demikian itu, menurut Dr. Jero Ketut Sumadi dirayakan secara turun-temurun yang telah puluhan abad sejak zaman Raja Kaniska I dari Dinasti Kusana di Asia Selatan yang naik takhta pada tahun 78 Masehi, pada abad ke-1 atau sejak 21 abad yang lampau.

Fenomena masa kini raja bijaksana itu mendorong adanya "Mahasabha", yakni Pesamuan Agung bagi umat Hindu dalam memelihara kerukunan dan toleransi hidup beragama di negara tersebut.

Jero Ketut Sumadi yang juga pengamat seni budaya, adat, dan agama itu menjelaskan bahwa Kaniska I dalam mengendalikan kerajaan berhasil mewujudkan stabilitas keamanan nasional yang mantap serta toleransi dan kerukunan hidup antarumat beragama yang kukuh.

Prestasi itu mengantarkan Dinasti Kusana ke masa kejayaan yang penuh gemilang, terbukti adanya hubungan diplomatik yang sangat baik dengan negara-negara luar, seperti Yunani dan Tiongkok.

Upaya ini membuka jalan bagi perkembangan kebudayaan dan agama serta menjadikan India sebagai salah satu pusat agama dan peradaban manusia di dunia.

Raja Kaniska I berhasil membuka pintu India selebar-lebarnya bagi negara-negara di Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk perkembangan peradaban, kebudayaan, dan agama.

Sejak ditetapkannya tahun saka oleh Raja Kaniska I, sistem penanggalan itu dipakai pula di seluruh India dan Indonesia, khususnya Bali, hingga sekarang.

Pada saat itu pula terjadi pembauran perhitungan tahun antara tahun saka (yang memakai perhitungan surya atau matahari) dan tahun yang memakai perhitungan candra atau bulan yang lazim disebut "lunisolar system".

Di Indonesia, khususnya Bali, tahun baru saka dirayakan setiap tanggal 1 Waisaka dengan "mati ageni" yang didahului dengan ritual bhuta yadnya (Tawur Agung Kesanga) yang jatuh setiap "Tilem Chaitra", sehari sebelum Hari Suci Nyepi.

"Namun, bagaimana perayaan tahun baru saka (Nyepi pada zaman Raja Kaniska I), belum dapat diungkapkan secara perinci," ujar Dr. Sumadi.

Ayah dari dua putra kelahiran Gianyar 55 tahun yang silam itu menjelaskan bahwa Hari Suci Nyepi oleh umat Hindu di India hingga sekarang masih tetap dirayakan. Namun, tidak sekhidmat yang dilakukan umat Hindu di Pulau Dewata.

Masalah dan Ritual

Raja Kaniska I dikenal kukuh pada pendiriannya. Dia mengatakan bahwa perang tidak akan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan kemelaratan dan kesangsaraan bagi masyarakat dan umat manusia.

Permasalahan yang muncul hanya dapat diselesaikan lewat kegiatan ritual, aktivitas seni budaya, serta rasa kasih sayang dan kerukunan antarumat yang baik.

Pendirian yang kukuh dari Raja Kaniska I pada abad pertama itu hingga sekarang masih tetap lestari yang diwarisi umat Hindu di Bali secara turun-temurun.

Lewat ibadah tapa brata penyepian selama sehari penuh, menurut alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu, umat manusia seolah-olah mengalami kelahiran baru dan menjalani kembali kehidupan dari nol.

Jika kehidupan yang hening, damai, dan sunyi senyap itu dapat diterapkan umat manusia di berbagai negara di belahan dunia akan dapat mengistirahatkan alam dari segala aktivitas sejenak, termasuk tidak mencemarinya dengan aneka polusi.

Nyepi (hening) tanpa aktivitas apa pun selama 24 jam memiliki makna penting bagi keseimbangan alam semesta, baik dunia rohani maupun jasmani (Panca Mahabutha), sekaligus memberikan kesempatan pada alam untuk mampu menjadi paru-paru dunia.

Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang berhutan tropis merupakan andalan dunia sebagai kawasan yang mampu memberikan "napas" bagi semua unsur kehidupan.

Konsep Nyepi, menurut Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, sesungguhnya merupakan kedamaian (santhi) yang perlu dijaga dengan baik tatkala unsur itu dicemari polusi, emisi gas, dan bahan berbahaya lainnya bagi kehidupan.

Untuk itu, perlu mengendalian diri umat manusia yang dalam ajaran Hindu disebut Catur Beratha Penyepian, yakni empat pantangan yang wajib ditaati saat Hari Raya Nyepi yang jatuh setiap 420 hari sekali.

Melalui ibadah tapa beratha itu sekaligus mampu membersihkan awan gelap yang selama ini menyelimuti pikiran dan menutup mata batin. Oleh sebab itu, umat manusia dapat berpikir jernih dan cerdas melalui pengendalian diri dan pengamalan ajaran agama masing-masing. Tentunya dengan tetap menghormati tatanan nilai sosial budaya masyarakat setempat.

"Nilai spiritual yang terkandung dalam tapa beratha penyepian bersifat universal dan sangat mulia. Jika mampu dilaksanakan oleh umat manusia di muka bumi, mampu mewujudkan ketenteraman, kedamaian, dan keharmonisan," ujar Ngurah Sudiana. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015