Ambon (Antara Bali) - Panglima Armada Timur (Pangarmatim) Laksda TNI Arie Henrycus Sembiring mengakui pihaknya mengalami kesulitan untuk melakukan operasi pengamanan teritorial laut di kawasan Indonesia Timur secara optimal karena diperhadapkan keterbatasan bahan bakar minyak (BBM).

"Operasi pengamanan wilayah laut tidak dapat dilakukan optimal karena tidak tersedia alokasi BBM yang dibutuhkan bagi kapal-kapal patroli yang melakukan tugas pengamanan," kata Pangarmatim Arie Henrycus Sembiring, di Ambon, Selasa.

Menurutnya, jajaran Armatim memiliki enam unit kapal patroli jenis fregat seperti KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 untuk bertugas melakukan patroli pengamanan wilayah perairan di kawasan timur, termasuk kawasan perbatasan, tetapi tidak bisa dilakukan kontinyu karena keterbatasan bahan bakar yang dialokasikan.

Tercatat hanya dua unit KRI yang dikerahkan untuk melakukan patroli dikarenakan keterbatasan BBM yang dibutuhkan.

Satu diantaranya melakukan patroli untuk mengawasi wilayah perbatasan antar negara, sedangkan KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 melakukan petroli untuk mengawasi kawasan perairan lainnya, terutama dari aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan kapal-kapal baik berbendera Indonesia maupun asing.

Sedangkan empat KRI lainnya hanya disiagakan di pangkalan dan sewaktu-waktu dapat dikerahkan jika dibutuhkan untuk membantu patroli dan pengawasan.

"Sehari dibutuhkan 35 hingga 40 ton bahan bakar untuk kebutuhan kapal yang melakukan tugas patroli. Masalah kekurangan BBM ini telah disampaikan kepada pimpinan TNI Angkatan Laut untuk dibicarakan dengan pemerintah," katanya.

Menurut dia jika partoli pengamanan laut perlu ditingkatkan, terutama di wilayah timur yang tergolong luas dan rawan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal dalam jumlah besar, maka pemerintah perlu mempertimbangkan tambahan alokasi anggaran pembelian BBM untuk operasional kapal patroli.

Pangarmatim Henrycus Sembiring, menandaskan, kapal pemburu seperti KRI Abdul Halim Perdanakusuma jika sedang beroperasi mengejar kapal ikan yang ketahuan melakukan penangkapan ikan ilegal, harus diikuti kapal lainnya yang bertugas menyuplai kebutuhan bahan bakar, sehingga KRI tidak perlu harus kembali ke pangkalan untuk mengisi tambahan BBM.

Pangarmatim Henrycus Sembiring mengakui kawasan perairan seperti laut Arafura sangat kaya akan potensi sumber daya perikanan bernilai ekonomis tinggi di pasaran dunia, sehingga menjadi incaran kapal-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia maupun asing melakukan aktivitas penangkapan ilegal secara besar-besaran.

"Laut Arafura sangatlah luas dan menjadi sarang aktivitas penangkapan ikan secara ilegal. Guna mengawasi secara ketat maka TNI AL perlu mengerahkan beberapa kapal untuk patroli rutin. Makanya pemerintah perlu mempertimbangkan penambahan bahan bakar untuk operasional kapal patroli," katanya.

Pangarmatim menambahkan KRI Abdul Halim Perdanakusuma saat berpatroli berhasil menangkap dua kapal berbendera Papua Nugini (PNG) dan enam kapal eks asing berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di sekitar perairan Laut Arafura provinsi Maluku dan Merauke, Papua, pada 7 Desember 2014.

Dua kapal berbendera Papua Nugini tersebut yakni kapal Century-4 dengan kapasitas 250 gross tonage (GT) membawa 47 orang anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Thailand serta kapal Century-7 berkapasitas 200 GT dengan 13 orang ABK juga warga negara Thailand. Mereka melakukan penangkapan ilegal karena tidak memiliki ijin resmi.

Sedangkan enam kapal ikan eks Thailand berbendera Indonesia yang ditangkap yakni KM Sino-15 (275 GT), KM Sino-26 (265 GT), KM Sino-36 (268 GT), KM Sino-33 (268 GT), KM Sino-35 (268 GT) dan KM Sino-27 (265 GT).

Delapan kapal tersebut bersama barang bukti lainnya berupa 578 ton ikan campuran hasil tangkapan dan 129 warga negara asal Thailand dan Tiongkok serta 11 ABK Indonesia sedang ditahan untuk kepentingan pemeriksaan dan penyelidikan lanjutan. (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014