Denpasar (Antara Bali) - Beragam jenis usaha penyulingan minuman keras secara tradisional rentan terkontaminasi kandungan metanol yang menyebabkan kematian karena umumnya tidak menggunakan alat pengukur suhu, kata Deputy Country Director Project HOPE di Indonesia, Sapruddin M Perwira.

"Oleh karena itu, kami akan mengidentifikasi berbagai usaha industri kecil yang memproduksi minuman keras tradisional seperti arak untuk selanjutnya diberikan pendampingan. Tahap awal kami akan melakukan pendampingan di Lombok, Nusa Tenggara Barat," ujarnya di Denpasar, Senin.

Menurut dia, karena masyarakat yang memproduksi minuman keras tradisional seperti arak tidak khusus menggunakan alat pengukur suhu sehingga tidak jarang menyebabkan keracunan, meskipun pada minuman tersebut tidak khusus dicampur atau dioplos dengan zat metanol.

Metanol umumnya digunakan sebagai bahan penambah bensin, bahan pemanas ruangan, pelarut industri, larutan untuk fotokopi, cairan pembersih mobil, dan sebagainya.

"Ketika penyulingan miras tradisional mencapai suhu 70-80 derajat Celcius, saat itulah tidak menutup kemungkinan minuman yang dibuat tercampur dengan zat metanol," ucapnya saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk "Peran Media Massa Untuk Sosialisasi Bahaya dan Cara Mencegah Keracunan Methanol".

Tetapi untuk memberikan pendampingan kepada masyarakat yang menggeluti pembuatan minuman keras tradisional, baginya bukan perkara mudah karena tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Cara memproduksinya pun bermacam-macam, bahkan ada yang ditanam dalam tanah hingga empat bulan dan kebiasaan masyarakat mengonsumsi minuman beralkohol.

Sapruddin menambahkan bahwa keracunan metanol tidak saja akhirnya menyebabkan kematian, namun juga akan merusak otak dan kebutaan permanen.

"Sejak 2009 saja, berdasarkan laporan media, telah terjadi beberapa kasus yang fatal akibat keracunan metanol di sejumlah daerah di Indonesia seperti di Bali, Lombok, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada tahun itu, setidaknya telah terjadi 25 kasus keracunan metanol yang fatal," ujar salah satu pimpinan pada lembaga dunia yang gencar melaksanakan program penyuluhan dan memperkuat sistem kesehatan itu.

Sedangkan pada 2012 juga meningkat ada 37 kasus keracunan methanol yang dilaporkan, dan bahkan untuk Januari 2014 saja sudah 31 kasus.

"Sejauh ini kami melihat masyarakat, pemerintah, penegak hukum dan penyedia layanan kesehatan masih sangat kurang kesadarannya tentang bahaya keracunan methanol," katanya pada acara yang digelar atas kerja sama Project HOPE dengan Methanol Institute itu.

Sementara itu, pembicara lainnya, Dr. dr. I Wayan Sudhana yang juga ahli penyakit dalam di RSUP Sanglah Denpasar menambahkan bahwa angka kematian akibat keracunan metanol di Bali masih relatif tinggi karena pasien datang dalam keadaan sudah kritis.

"Pasien yang sampai meninggal itu karena terlambat penanganan dan tidak sempat dilakukan cuci darah atau hemodialisis, sedangkan yang membaik seringkali mengalami kebutaan dan parkinson," ujarnya.

Menurut Sudhana, dengan posisi Bali sebagai daerah tujuan pariwisata itu sangat penting untuk segera mengenali tanda-tanda keracunan methanol supaya dapat dilakukan langkah penanganan yang cepat dan tepat.

"Yang tidak kalah penting itu menggalakkan sosialisasi pada masyarakat supaya tidak sembarangan mencampurkan zat tertentu dalam minuman beralkohol. Jika dibandingkan di Amerika Serikat, meskipun 75 persen populasi dewasa minum minuman beralkohol, tetapi di sana jarang terjadi keracunan methanol karena masyarakatnya sudah paham," katanya. (WDY)

Pewarta: Oleh Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014