Denpasar (Antara Bali) - Yayasan Peduli Autisme Bali (YPAB) menginginkan adanya sekolah yang bisa menghasilkan guru khusus untuk memberikan terapi kepada anak-anak autis di Denpasar.
"Guru terapi yang ada sekarang berasal dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, di antaranya psikologi dan guru," kata pendiri YPAB Ahmad Amara Putra di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, jika permasalahan autis ini tidak mendapat perhatian serius dari semua pihak, dia memperkirakan pada sepuluh tahun yang akan datang akan menimbulkan permasalahan nasional. "Setiap tahun penderita autis selalu meningkat, sekarang potensi autis pada anak yang baru lahir sekitar 0,3 persen dalam seratus kelahiran jika dibandingkan sepuluh tahun yang lalu hanya 0,1 persen saja," ujarnya.
Faktor yang dapat memicu autis pada anak selain bawaan genetik dari lahir, juga disebabkan tidak tahan terhadap antibiotik, gangguan pencernaan, dan polusi.
Pada anak yang memilki genetik autisme dan mengalami gangguan pencernaan sebaikanya menghindari mengonsumsi susu sapi dan produk olahan tepung terigu. "Lingkungan yang tercemar logam berat dan mercury menjadi faktor lain penyebab autisme pada anak," ujarnya.
Dia menilai masih bayak orang tua yang belum mengerti bagaimana menangani anak yang mengalami autis. "Dibutuhkan kesabaran yang luar biasa dan biaya yang tidak sedikit. Namun, ketika anak yang mengalami autis telah mendapatkan terapi serta didampingi oleh orang tua, kemungkinan untuk menjadi lebih mandiri itu terbuka lebar," kata Ahmad.
Dayu Putri (32), yang memiliki anak autis mengaku tidak percaya saat anaknya divonis oleh dokter mengalami penyakit yang menyerang bagian otak tersebut.
"Rasanya dunia mau kiamat, tapi saya tetap yakin dan berusaha agar anak saya dapat normal," ujarnya.
Wanita asal Kabupaten Karangasem ini menuturkan awalnya memang sangat berat mendidik anaknya untuk disiplin karena anak autis sulit menyampaikan keinginan dan menunjukkan dengan cara tidak biasa.
"Anak saya menjalani terapi mulai usia dua setengah tahun, dan kini sudah kelas tiga SD di sekolah umum," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Guru terapi yang ada sekarang berasal dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, di antaranya psikologi dan guru," kata pendiri YPAB Ahmad Amara Putra di Denpasar, Kamis.
Menurut dia, jika permasalahan autis ini tidak mendapat perhatian serius dari semua pihak, dia memperkirakan pada sepuluh tahun yang akan datang akan menimbulkan permasalahan nasional. "Setiap tahun penderita autis selalu meningkat, sekarang potensi autis pada anak yang baru lahir sekitar 0,3 persen dalam seratus kelahiran jika dibandingkan sepuluh tahun yang lalu hanya 0,1 persen saja," ujarnya.
Faktor yang dapat memicu autis pada anak selain bawaan genetik dari lahir, juga disebabkan tidak tahan terhadap antibiotik, gangguan pencernaan, dan polusi.
Pada anak yang memilki genetik autisme dan mengalami gangguan pencernaan sebaikanya menghindari mengonsumsi susu sapi dan produk olahan tepung terigu. "Lingkungan yang tercemar logam berat dan mercury menjadi faktor lain penyebab autisme pada anak," ujarnya.
Dia menilai masih bayak orang tua yang belum mengerti bagaimana menangani anak yang mengalami autis. "Dibutuhkan kesabaran yang luar biasa dan biaya yang tidak sedikit. Namun, ketika anak yang mengalami autis telah mendapatkan terapi serta didampingi oleh orang tua, kemungkinan untuk menjadi lebih mandiri itu terbuka lebar," kata Ahmad.
Dayu Putri (32), yang memiliki anak autis mengaku tidak percaya saat anaknya divonis oleh dokter mengalami penyakit yang menyerang bagian otak tersebut.
"Rasanya dunia mau kiamat, tapi saya tetap yakin dan berusaha agar anak saya dapat normal," ujarnya.
Wanita asal Kabupaten Karangasem ini menuturkan awalnya memang sangat berat mendidik anaknya untuk disiplin karena anak autis sulit menyampaikan keinginan dan menunjukkan dengan cara tidak biasa.
"Anak saya menjalani terapi mulai usia dua setengah tahun, dan kini sudah kelas tiga SD di sekolah umum," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014