Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah petani di daerah Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, mengaku enggan mengembangkan tanaman jeruk nipis karena faktor harga yang tidak menentu dan cenderung murah.
"Saya dan beberapa petani di sini tidak lagi mengembangkan tanaman jenis jeruk nipis. Hal ini dikarenakan faktor harga yang tidak menentu," Kata Nyoman Budi (42) salah seorang petani di Kintamani, Jumat.
Selain faktor harga, penyebab lain yang membuat dirinya enggan mengembangkan jenis tanaman itu karena keadaan pohonnya yang agak besar membutuhkan lahan luas.
Dikatakan, luasnya lahan yang diperlukan menyebabkan petani setempat tidak tertarik mengembangkan tanaman jeruk nipis.
"Tanaman jeruk nipis akan terus bertambah besar, belum lagi pohonnya yang berduri sangat sulit untuk mengimbangi dengan tanaman lain," ujar Nyoman Budi.
Senada dengan Nyoman, Kusuma (40) salah seorang petani yang juga pernah mengembangkan jeruk nipis, mengaku enggan untuk kembali menanam jenis budidaya itu karena alasan harga.
"Saya malas menanam pohon jeruk nipis lagi karena harganya tidak menentu dan cenderung murah," ucap petani bertubuh mungil itu.
Dijelaskan, sejak dirinya mengembangkan jeruk nipis tiga tahun lalu, harga paling tinggi yang pernah dinikmati hanya berkisar Rp2.000 hingga Rp5.000 per kilogram.
Namun, kata dia, kisaran harga itu tidak pernah bertahan lama, paling hanya sampai tiga hingga empat hari dan berubah lagi.
"Kalau ada kenaikan harga paling hanya sebentar, seringnya harga perkilogramnya hanya di bawah Rp1.000. Kendati saat ini harga berkisar Rp2.500 hingga Rp3.000, saya masih enggan mengembangkannya," ujar kusuma.
Terlebih saat buah jeruk melimpah dipastikan harga komoditi tersebut akan anjlok, sehingga para petani harus rela membiarkan buah jeruknya jatuh dari pohon dan membusuk.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Saya dan beberapa petani di sini tidak lagi mengembangkan tanaman jenis jeruk nipis. Hal ini dikarenakan faktor harga yang tidak menentu," Kata Nyoman Budi (42) salah seorang petani di Kintamani, Jumat.
Selain faktor harga, penyebab lain yang membuat dirinya enggan mengembangkan jenis tanaman itu karena keadaan pohonnya yang agak besar membutuhkan lahan luas.
Dikatakan, luasnya lahan yang diperlukan menyebabkan petani setempat tidak tertarik mengembangkan tanaman jeruk nipis.
"Tanaman jeruk nipis akan terus bertambah besar, belum lagi pohonnya yang berduri sangat sulit untuk mengimbangi dengan tanaman lain," ujar Nyoman Budi.
Senada dengan Nyoman, Kusuma (40) salah seorang petani yang juga pernah mengembangkan jeruk nipis, mengaku enggan untuk kembali menanam jenis budidaya itu karena alasan harga.
"Saya malas menanam pohon jeruk nipis lagi karena harganya tidak menentu dan cenderung murah," ucap petani bertubuh mungil itu.
Dijelaskan, sejak dirinya mengembangkan jeruk nipis tiga tahun lalu, harga paling tinggi yang pernah dinikmati hanya berkisar Rp2.000 hingga Rp5.000 per kilogram.
Namun, kata dia, kisaran harga itu tidak pernah bertahan lama, paling hanya sampai tiga hingga empat hari dan berubah lagi.
"Kalau ada kenaikan harga paling hanya sebentar, seringnya harga perkilogramnya hanya di bawah Rp1.000. Kendati saat ini harga berkisar Rp2.500 hingga Rp3.000, saya masih enggan mengembangkannya," ujar kusuma.
Terlebih saat buah jeruk melimpah dipastikan harga komoditi tersebut akan anjlok, sehingga para petani harus rela membiarkan buah jeruknya jatuh dari pohon dan membusuk.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010