Denpasar (Antara Bali) - Perkembangan seni rupa tradisional Bali mempunyai kaitan erat dengan tradisi bidang seni budaya dan ritual yang dilakoni masyarakat setempat, kata Anak Agung Gede Rai, praktisi dan pelaku seni.
"Kondisi demikian menjadikan masyarakat setempat mempunyai keasyikan tersendiri dengan didukung suasana tentram dengan warna keindahan yakni kesenian yang tumbuh dari rasa syukur (bhakti) kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Anak Agung Gede Rai di Denpasar, Minggu.
Pendiri dan pemilik Museum Arma di perkampungan seniman Ubud itu sebelumnya tampil sebagai pembicara dalam seminar seni rupa yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekrap) di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Ia mengatakan, rasa syukur dengan lingkungan alam, lingkungan spiritual serta lingkungan sosial dari zaman ke zaman memberikan inspirasi munculnya tarian Siwa ketika mencipta alam semesta.
Para seniman meniru gerak isi alam ke dalam seni tari, seni bangunan, seni lukis, seni sastra yang semuanya merupakan persembahan keindahan atau yang terindah, karena kesenian Bali mencerminkan etika dari Tri Hita Karana yang berkepribadian dan bermartabat.
Agung Rai menambahkan, pencapaian reputasi artistik karya tidak mungkin lepas dari mata rantai sejarah yang melingkupi. Dalam sejarah Bali, kesenian mengalami masa keemasan (golden age) di bawah dinasti Warmadewa.
Diantara prasasti yang dikeluarkan Raja Anak wungsu terdapat prasasti yang memuat goresan bermotif Batara Siwa yang menunjukan bahwa keakhlian seni lukis hadir di masa itu, seperti juga dalam prasasti Batuan abad ke-10 yang menyebut Citrakara sebagai Paguyuban seni lukis dan Amahat untuk sebutan komunitas seni pahat sesuai dengan garis profesi yang istimewa.
Agung Rai yang sukses mengelola museum swasta dengan ratusan karya seni lukis itu menambahkan, pada abad ke-11, realisasi nilai-nilai Tri Hita Karana semakin mantap, dengan adanya konsep desa pakraman (adat) yang lengkap dengan unsur-unsurnya.
Selain itu munculnya rasa persatuan diantara berbagai aliran kepercayaan sekte di bawah bimbingan Mpu Kuturan yang dilaksanakan dengan penuh kepatuhan dan rasa setia oleh masyarakat.
Otoritas kesenian menjadi penerjemah, media komunikasi sastragama yang sakral menjadi bahasa gambar yang maha penting yang dimiliki Citrakara Bali mendapat porsi yang bermartabat.
Demikian pula pada zaman Waturenggong, Gelgel, tahun 1470-1550 masehi arsitektur tradisional Bali semakin kokoh dan mulia meningkatkan keimanan masyarakat Bali.
Kesenian Bali Klasik mengalami perkembangan hampir di seluruh wilayah Bali, khususnya di wilayah Bali Age, Karangasem, tepatnya di desa Julah berkembang seni lukis wayang.
Hal itu menjadi cikal bakal seni rupa tradisional Bali yang kini mencuat ke permukaan berkembang lewat lintas tradisi dan didukung pihak akademisi yang kini kini menawarkan pergeseran dengan mengusung pola kreativitas, tutur Agung Rai. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Kondisi demikian menjadikan masyarakat setempat mempunyai keasyikan tersendiri dengan didukung suasana tentram dengan warna keindahan yakni kesenian yang tumbuh dari rasa syukur (bhakti) kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Anak Agung Gede Rai di Denpasar, Minggu.
Pendiri dan pemilik Museum Arma di perkampungan seniman Ubud itu sebelumnya tampil sebagai pembicara dalam seminar seni rupa yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekrap) di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Ia mengatakan, rasa syukur dengan lingkungan alam, lingkungan spiritual serta lingkungan sosial dari zaman ke zaman memberikan inspirasi munculnya tarian Siwa ketika mencipta alam semesta.
Para seniman meniru gerak isi alam ke dalam seni tari, seni bangunan, seni lukis, seni sastra yang semuanya merupakan persembahan keindahan atau yang terindah, karena kesenian Bali mencerminkan etika dari Tri Hita Karana yang berkepribadian dan bermartabat.
Agung Rai menambahkan, pencapaian reputasi artistik karya tidak mungkin lepas dari mata rantai sejarah yang melingkupi. Dalam sejarah Bali, kesenian mengalami masa keemasan (golden age) di bawah dinasti Warmadewa.
Diantara prasasti yang dikeluarkan Raja Anak wungsu terdapat prasasti yang memuat goresan bermotif Batara Siwa yang menunjukan bahwa keakhlian seni lukis hadir di masa itu, seperti juga dalam prasasti Batuan abad ke-10 yang menyebut Citrakara sebagai Paguyuban seni lukis dan Amahat untuk sebutan komunitas seni pahat sesuai dengan garis profesi yang istimewa.
Agung Rai yang sukses mengelola museum swasta dengan ratusan karya seni lukis itu menambahkan, pada abad ke-11, realisasi nilai-nilai Tri Hita Karana semakin mantap, dengan adanya konsep desa pakraman (adat) yang lengkap dengan unsur-unsurnya.
Selain itu munculnya rasa persatuan diantara berbagai aliran kepercayaan sekte di bawah bimbingan Mpu Kuturan yang dilaksanakan dengan penuh kepatuhan dan rasa setia oleh masyarakat.
Otoritas kesenian menjadi penerjemah, media komunikasi sastragama yang sakral menjadi bahasa gambar yang maha penting yang dimiliki Citrakara Bali mendapat porsi yang bermartabat.
Demikian pula pada zaman Waturenggong, Gelgel, tahun 1470-1550 masehi arsitektur tradisional Bali semakin kokoh dan mulia meningkatkan keimanan masyarakat Bali.
Kesenian Bali Klasik mengalami perkembangan hampir di seluruh wilayah Bali, khususnya di wilayah Bali Age, Karangasem, tepatnya di desa Julah berkembang seni lukis wayang.
Hal itu menjadi cikal bakal seni rupa tradisional Bali yang kini mencuat ke permukaan berkembang lewat lintas tradisi dan didukung pihak akademisi yang kini kini menawarkan pergeseran dengan mengusung pola kreativitas, tutur Agung Rai. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013