Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali mengusulkan agar mengubah penggunaan kata ‘adhyaksa’ dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali.

“Kata adhyaksa perlu dikaji kembali dan dipertimbangkan dengan pilihan yang lebih bijaksana dan lebih netral karena penggunaan kata tersebut seperti pisau bermata dua,” kata Ketua Fraksi Gerindra-PSI Gede Harja Astawa saat Sidang Paripurna DPRD Bali di Denpasar, Senin.

Ia mengingatkan bahwa kata adhyaksa sangat erat dengan kejaksaan, meskipun Raperda ini inisiasi dari Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, namun ketika saat diimplementasikan nanti hasilnya tidak sesuai harapan maka akan merusak kejaksaan sendiri.

“Jika pada tataran implementatif hasilnya tidak baik atau setidaknya tidak sesuai dengan harapan penggagas, hal tersebut bisa mencederai nama adhyaksa yang identik dengan nama kejaksaan,” ujarnya.

Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali memandang saat ini masyarakat memberikan apresiasi positif dan kepercayaan terhadap kejaksaan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, bahkan dari catatan mereka tingkat kepercayaan terus meningkat dalam penegakan hukum khususnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penggunaan kata adhyaksa dalam Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali juga akan memantik institusi penegak hukum lain untuk menginisiasi aturan serupa dengan slogan masing-masing.

“Misalnya Polri dan pengadilan, bagaimana jika mereka juga menjadi inisiator berdirinya bale yang lain misalnya Bale Bhayangkara untuk Polri, atau Bale Pengayoman untuk pengadilan, bisa dibayangkan tingkat kerumitan yang akan ditimbulkan,” kata Gede Harja Astawa.

Selain itu, dewan juga meminta gubernur Bali memberikan naskah akademik dan penjelasan Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali, sebab hingga Sidang Paripurna dengan agenda tanggapan fraksi-fraksi, naskah tersebut tak kunjung sampai.

Gede Harja Astawa menjelaskan naskah ini penting karena keabsahan suatu produk hukum tidak hanya memperhatikan aspek kewenangan tetapi penggunaan kewenangan itu, simultan memperhatikan aspek prosedural dan substansi yang akan diatur.

“Seandainya naskah akademik belum ada dan atau penjelasannya belum tersedia, maka Fraksi Gerindra-PSI berpendapat sebaiknya pembahasan Raperda ini ditunda sampai dengan dibuatnya naskah akademik atau penjelasan, karena hal itu merupakan panduan untuk memahami landasan filosofis, yuridis dan sosiologis pentingnya Raperda ini diajukan,” kata dia.

Menyikapi adanya poin yang dikritisi DPRD Bali, Gubernur Bali Wayan Koster menerima karena substansinya bagus.

“Substansinya sangat bagus, tentu akan jadi perhatian untuk didiskusikan dalam tanggapan gubernur besok,” kata dia.

Disinggung soal perjalanan Raperda yang sangat singkat belum sampai satu minggu, Gubernur Wayan Koster mengatakan tak ada alasan lain kecuali karena materi yang memang sudah matang.

Materi yang sudah ia dalami dan berdasarkan pengalamannya di legislasi membuatnya yakin bahwa gagasan Kajati Bali ini sudah baik.

Keberadaan Raperda ini juga telah didukung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan mulai digunakan awal 2026 nanti, sehingga setelah KUHP baru dijalankan maka lembaga Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali sudah siap bekerja menyelesaikan perkara ringan.

“Bale Kertha Adhyaksa bukan unsur lembaga desa adat tapi dia lembaga yang ada di desa adat, dia wahana pendampingan desa adat, masalah di desa adat kan banyak ada yang pidana ada perdata, jadi yang kategorinya ringan bisa diselesaikan, begitu selesai di lembaga Bale Kertha Adhyaksa dia tidak lagi berlanjut ke pengadilan,” kata Wayan Koster.

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2025