Tanaman obat keluarga atau toga semakin jarang didengar, bahkan para tenaga pendidik menemukan fenomena banyaknya siswa yang terasa asing dengan singkatan tersebut.
Salah satu sekolah dasar di Bali, SD Negeri 18 Dangin Puri, di Denpasar, merasa pengenalan soal toga di ruang kelas tidak efektif, tidak semenarik gadget yang digenggam para siswa.
Akhirnya mereka mencoba menjawab tantangan ini dengan membangun kebun edukasi dengan setidaknya 30 jenis tanaman obat sederhana yang mudah diingat siswa kelas 1 hingga kelas 6, ditambah pemanfaatan kode yang dipindai melalui telepon pintar untuk mengakses penjelasannya, sehingga mampu memantik minat untuk memahami tumbuhan.
Kebun edukasi
Sekitar dua bulan lalu, sekolah ini menyulap lahan sisa seluas 1 are menjadi kebun edukasi. Mereka tak bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh komunitas Laksana Becik, berupa barter antara minyak jelantah dengan keperluan pengembangan toga.
Beberapa jenis tanaman yang dua bulan terakhir menjadi favorit siswa adalah lidah buaya, cocor bebek, sirih merah, dan anting-anting. Semuanya tertata rapi, mulai dari di atas pot yang berjejer, hingga ditanam langsung di tanah.
Ketua Tim Kebun Edukasi SD Negeri 18 Dangin Puri I Komang Edi Semartama mengatakan metode pembelajaran yang diterapkan adalah dengan menjadwal setiap kelas agar setidaknya sekali dalam sepekan minggu belajar di luar ruangan.
"Ini di luar mata pelajaran, bisa dibilang pembelajaran dalam hal lingkungan. Ini akan terus kami jadwalkan sehingga tau perubahan siswanya seperti apa dengan edukasi semacam ini," kata dia ketika ditemui ANTARA di Denpasar.
Terhitung dua bulan pertama, sekolah mulai merasakan perubahan pada siswa, dari yang awalnya tidak tahu apa itu toga menjadi tahu satu per satu jenis tanaman dan manfaatnya.
Mereka sejak dini juga peduli dengan lingkungan. Setidaknya, ketika terlihat sampah atau pohon yang patah, maka segera ditangani. Hal ini karena mereka tidak ingin kebunnya rusak. Belajar di kebun menjadi lebih memotivasi mereka dibandingkan belajar konvensional di ruang kelas.
Setiap mendapat giliran belajar di kebun, guru akan memberikan izin siswa membawa gadget, namun bukan keharusan, karena sekolah menggunakan sistem belajar kelompok.
Di waktu itu siswa akan berkunjung ke kebun edukasi untuk mempelajari nama tanaman, manfaat, dan karakteristiknya.
Pertama, mereka mencari satu tanaman dan membaca namanya, kemudian memindai kode dengan gadget dan membuka halaman terkait tanaman tersebut. Siswa akan mencocokkan informasi soal tanaman dengan yang mereka lihat, kemudian mencatat kembali manfaat tanaman itu di sebuah buku untuk menguatkan ingatannya.
Ni Kadek Dwi Ari, siswa kelas 4, mengungkapkan perasaan senangnya ia dan teman-teman kelasnya ketika belajar di kebun.
Udara sejuk dan pemandangan hijau membuatnya semangat menghabiskan waktu, bahkan meski ada gadget di tangannya ia enggan membuka permainan atau aplikasi di luar keperluan belajar toga.
Biasanya dia membuka HP untuk bermain, tapi sekarang lebih enak untuk keperluan belajar, termasuk menghafal manfaat toga. Semua penghetahuan yang didapat, dia ceritakan kepada keluarganya di rumah untuk menggugah mereka juga menanam.
Cerita Kadek Dwi menggambarkan target sekolah yang mulai tercapai, yaitu menyebarluaskan kegiatan positif mengenai toga ini ke masyarakat.
Dukungan dari orang tua siswa juga dirasakan sekolah dari terkumpulnya minyak jelantah setiap pekan yang akan ditukarkan ke komunitas untuk dibalas dengan pengembangan kebun toga SD Negeri 18 Dangin Puri.
Dalam sepekan, sekolah bisa mengumpulkan sampai 20 liter minyak jelantah dari siswa tanpa paksaan, karena siswa juga ingin kebun edukasinya berkembang dan diperluas.
Untuk menanamkan kecintaan siswa sekolah dasar terhadap lingkungan, sekolah juga mengajarkan mereka membuat benda bernilai dari sampah yang sehari-hari ditemukan di lingkungan kebun.
Kerajinan sofa
Sampah yang terdiri dari botol plastik, kertas, dan kemasan makanan, dikumpulkan siswa untuk membuat sofa. Selain mengajarkan ilmu "green entrepreneur", kerajinan ini digunakan juga untuk mendukung sarana di kebun edukasi.
Disadari bahwa hal ini berawal dari permasalahan sampah di lingkungan sekolah. Kepala Sekolah SD Negeri 18 Dangin Puri I Komang Mertayasa kemudian mengajak anak-anak berperan aktif menanggulangi sampah, khususnya sampah plastik yang sekarang sudah memasuki fase darurat.
Mulai dari siswa kelas 4 diajarkan membuat kerajinan sofa. Mereka mengumpulkan botol kemasan minuman dan di dalamnya dipadati dengan sampah plastik dan kertas, seluruh botol diikat dan diatasnya ditambahkan kain perca atau spons, kemudian ditutup dengan kain pelapisnya.
Sofa-sofa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai tempat duduk di kebun edukasi, sehingga memudahkan siswa belajar dan menulis.
Tidak berhenti di sana, sekolah juga memberi pengetahuan soal kewirausahaan, dengan mengenalkan siswa cara promosi dan contoh-contoh pengusaha yang menghasilkan uang dari produk kerajinan serupa.
Siswa lainnya bernama Putu Agus Mertayasa juga merasakan dampak positif dari ilmu yang diberikan guru mengenai lingkungan. Kini, ia rutin mengumpulkan sampah plastik hingga minyak jelantah sisa memasak milik sang ibu di rumah.
Putu Agus, bahkan melibatkan orang tuanya untuk membuat kerajinan ini, meski belum paham cara berjualan, tapi dengan menyimpan hasil karyanya sudah membuat anak usia 9 tahun itu bangga.
Karena itu, sofa hasil kerajinannya disimpan di sekolah dan dipakai di kebun untuk keperluan duduk sambil menulis.
Hal ini ditanamkan sekolah agar siswa memiliki pengetahuan soal kewirausahaan hijau, namun paling penting bagaimana mereka mencintai lingkungan dan paham pentingnya tanaman obat keluarga yang mulai jarang terdengar.
Belajar dari inisiatif sekolah dasar di Denpasar ini menunjukkan bahwa peran sekolah dan guru sangat besar untuk menggugah kesadaran siswa mengenai pentingnya menjaga lingkungan dari sampah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Salah satu sekolah dasar di Bali, SD Negeri 18 Dangin Puri, di Denpasar, merasa pengenalan soal toga di ruang kelas tidak efektif, tidak semenarik gadget yang digenggam para siswa.
Akhirnya mereka mencoba menjawab tantangan ini dengan membangun kebun edukasi dengan setidaknya 30 jenis tanaman obat sederhana yang mudah diingat siswa kelas 1 hingga kelas 6, ditambah pemanfaatan kode yang dipindai melalui telepon pintar untuk mengakses penjelasannya, sehingga mampu memantik minat untuk memahami tumbuhan.
Kebun edukasi
Sekitar dua bulan lalu, sekolah ini menyulap lahan sisa seluas 1 are menjadi kebun edukasi. Mereka tak bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh komunitas Laksana Becik, berupa barter antara minyak jelantah dengan keperluan pengembangan toga.
Beberapa jenis tanaman yang dua bulan terakhir menjadi favorit siswa adalah lidah buaya, cocor bebek, sirih merah, dan anting-anting. Semuanya tertata rapi, mulai dari di atas pot yang berjejer, hingga ditanam langsung di tanah.
Ketua Tim Kebun Edukasi SD Negeri 18 Dangin Puri I Komang Edi Semartama mengatakan metode pembelajaran yang diterapkan adalah dengan menjadwal setiap kelas agar setidaknya sekali dalam sepekan minggu belajar di luar ruangan.
"Ini di luar mata pelajaran, bisa dibilang pembelajaran dalam hal lingkungan. Ini akan terus kami jadwalkan sehingga tau perubahan siswanya seperti apa dengan edukasi semacam ini," kata dia ketika ditemui ANTARA di Denpasar.
Terhitung dua bulan pertama, sekolah mulai merasakan perubahan pada siswa, dari yang awalnya tidak tahu apa itu toga menjadi tahu satu per satu jenis tanaman dan manfaatnya.
Mereka sejak dini juga peduli dengan lingkungan. Setidaknya, ketika terlihat sampah atau pohon yang patah, maka segera ditangani. Hal ini karena mereka tidak ingin kebunnya rusak. Belajar di kebun menjadi lebih memotivasi mereka dibandingkan belajar konvensional di ruang kelas.
Setiap mendapat giliran belajar di kebun, guru akan memberikan izin siswa membawa gadget, namun bukan keharusan, karena sekolah menggunakan sistem belajar kelompok.
Di waktu itu siswa akan berkunjung ke kebun edukasi untuk mempelajari nama tanaman, manfaat, dan karakteristiknya.
Pertama, mereka mencari satu tanaman dan membaca namanya, kemudian memindai kode dengan gadget dan membuka halaman terkait tanaman tersebut. Siswa akan mencocokkan informasi soal tanaman dengan yang mereka lihat, kemudian mencatat kembali manfaat tanaman itu di sebuah buku untuk menguatkan ingatannya.
Ni Kadek Dwi Ari, siswa kelas 4, mengungkapkan perasaan senangnya ia dan teman-teman kelasnya ketika belajar di kebun.
Udara sejuk dan pemandangan hijau membuatnya semangat menghabiskan waktu, bahkan meski ada gadget di tangannya ia enggan membuka permainan atau aplikasi di luar keperluan belajar toga.
Biasanya dia membuka HP untuk bermain, tapi sekarang lebih enak untuk keperluan belajar, termasuk menghafal manfaat toga. Semua penghetahuan yang didapat, dia ceritakan kepada keluarganya di rumah untuk menggugah mereka juga menanam.
Cerita Kadek Dwi menggambarkan target sekolah yang mulai tercapai, yaitu menyebarluaskan kegiatan positif mengenai toga ini ke masyarakat.
Dukungan dari orang tua siswa juga dirasakan sekolah dari terkumpulnya minyak jelantah setiap pekan yang akan ditukarkan ke komunitas untuk dibalas dengan pengembangan kebun toga SD Negeri 18 Dangin Puri.
Dalam sepekan, sekolah bisa mengumpulkan sampai 20 liter minyak jelantah dari siswa tanpa paksaan, karena siswa juga ingin kebun edukasinya berkembang dan diperluas.
Untuk menanamkan kecintaan siswa sekolah dasar terhadap lingkungan, sekolah juga mengajarkan mereka membuat benda bernilai dari sampah yang sehari-hari ditemukan di lingkungan kebun.
Kerajinan sofa
Sampah yang terdiri dari botol plastik, kertas, dan kemasan makanan, dikumpulkan siswa untuk membuat sofa. Selain mengajarkan ilmu "green entrepreneur", kerajinan ini digunakan juga untuk mendukung sarana di kebun edukasi.
Disadari bahwa hal ini berawal dari permasalahan sampah di lingkungan sekolah. Kepala Sekolah SD Negeri 18 Dangin Puri I Komang Mertayasa kemudian mengajak anak-anak berperan aktif menanggulangi sampah, khususnya sampah plastik yang sekarang sudah memasuki fase darurat.
Mulai dari siswa kelas 4 diajarkan membuat kerajinan sofa. Mereka mengumpulkan botol kemasan minuman dan di dalamnya dipadati dengan sampah plastik dan kertas, seluruh botol diikat dan diatasnya ditambahkan kain perca atau spons, kemudian ditutup dengan kain pelapisnya.
Sofa-sofa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai tempat duduk di kebun edukasi, sehingga memudahkan siswa belajar dan menulis.
Tidak berhenti di sana, sekolah juga memberi pengetahuan soal kewirausahaan, dengan mengenalkan siswa cara promosi dan contoh-contoh pengusaha yang menghasilkan uang dari produk kerajinan serupa.
Siswa lainnya bernama Putu Agus Mertayasa juga merasakan dampak positif dari ilmu yang diberikan guru mengenai lingkungan. Kini, ia rutin mengumpulkan sampah plastik hingga minyak jelantah sisa memasak milik sang ibu di rumah.
Putu Agus, bahkan melibatkan orang tuanya untuk membuat kerajinan ini, meski belum paham cara berjualan, tapi dengan menyimpan hasil karyanya sudah membuat anak usia 9 tahun itu bangga.
Karena itu, sofa hasil kerajinannya disimpan di sekolah dan dipakai di kebun untuk keperluan duduk sambil menulis.
Hal ini ditanamkan sekolah agar siswa memiliki pengetahuan soal kewirausahaan hijau, namun paling penting bagaimana mereka mencintai lingkungan dan paham pentingnya tanaman obat keluarga yang mulai jarang terdengar.
Belajar dari inisiatif sekolah dasar di Denpasar ini menunjukkan bahwa peran sekolah dan guru sangat besar untuk menggugah kesadaran siswa mengenai pentingnya menjaga lingkungan dari sampah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023