Medan (Antara Bali) - Sejumlah iklan dan sinetron remaja sangat bias gender dan meneguhkan streotif negatif terhadap kaum perempuan, demikian juga dengan beberapa humor di televisi kerap menjadikan kaum cacat sebagai bahan lawakan.
"Ini tentunya kurang mendidik, terutama bagi anak dan remaja," kata Koordinator Program Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan, Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Pemilianna Pardede di Medan Senin.
Ia mengatakan penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah jam menonton TV anak dan remaja usia sekolah berkisar antara 35-40 jam per minggu.
Kecanduan menonton televisi dinilai over dosis dari seharunya maksimal 14 jam per minggu atau dua jam per hari. Ini adalah jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat bagi anak dan remaja.
Masalahnya adalah tidak semua program televisi mendidik bagi remaja karena program program televisi , terutama sinetron, hiburan dan iklan banyak yang mengandung bias gender, bias etnis melecehkan kaum difable dan sarat muatan kekerasan simbolik, fisik dan pornografi.
"Bahkan beberapa acara humor di televisi sangat biasa memandang atau menilai suku tertentu yang akhirnya menyuburkan kampanye prasangka etnisitas atau meneguhkan streotif-streotif negatif lainnya," katanya. (*/DWA/IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Ini tentunya kurang mendidik, terutama bagi anak dan remaja," kata Koordinator Program Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan, Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Pemilianna Pardede di Medan Senin.
Ia mengatakan penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah jam menonton TV anak dan remaja usia sekolah berkisar antara 35-40 jam per minggu.
Kecanduan menonton televisi dinilai over dosis dari seharunya maksimal 14 jam per minggu atau dua jam per hari. Ini adalah jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat bagi anak dan remaja.
Masalahnya adalah tidak semua program televisi mendidik bagi remaja karena program program televisi , terutama sinetron, hiburan dan iklan banyak yang mengandung bias gender, bias etnis melecehkan kaum difable dan sarat muatan kekerasan simbolik, fisik dan pornografi.
"Bahkan beberapa acara humor di televisi sangat biasa memandang atau menilai suku tertentu yang akhirnya menyuburkan kampanye prasangka etnisitas atau meneguhkan streotif-streotif negatif lainnya," katanya. (*/DWA/IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013