Oleh  I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Penjor, hiasan bambu dari janur lengkap dengan pernak-peniknya dipajang atau ditancapkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah masing-masing warga umat Kristen di Banjar Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali dalam menyambut Hari Raya Natal.

Hiasan penjor di sepanjang jalan pedesaan yang berjarak sekitar 15 km barat laut Kota Denpasar mirip dengan suasana saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan, hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Hiasan penjor di sepanjang jalan serta sejumlah gereja dihias bernuansa khas Bali seperti menggunakan payung (tedung agung) dalam aneka warna menambah kesemarakan perayaan Natal.

"Sudah dari zaman nenek moyang dulu kami menggunakan penjor dalam merayakan Natal di Banjar Tuka," tutur Ketua Dewan Gereja Paroki Tritunggal Mahakudus Banjar Tuka, Ketut Jack Mudastra.

Tokoh umat Kristiani Bali itu menjelaskan, masing-masing keluarga umat Kristiani di daerahnya mewarisi tradisi leluhurnya membuat penjor,maupun tradisi menyajikan menu masakan khas Bali seperti halnya umat Hindu saat merayakan Galungan.

Banjar Tuka termasuk pemekaran pemukiman di sekitarnya berpenduduk 800 kepala keluarga, mayoritas beragama Kristen. Suasana alam lingkungan pedesaan itu masih tampak lestari dan menghijau itu merupakan dusun pertama di Bali yang penduduknya memeluk agama Kristen, sejak tahun 1937 atau 75 tahun yang silam.

Penyebaran agama Kristen itu ditandai dengan pelaksanaan baptis pertama oleh penginjil Tshang Toha (China) kepada sejumlah penduduk di Tukad Yeh Poh, Desa Dalung, Kabupaten Badung.

Dua aliran Kristiani masing-masing Katholik berkembang di Desa Tuka, dan Kristen Protestan di Dusun Untal-Untal, Kabupaten Badung. Pada tahun 1937 ajaran tersebut kemudian disebarkan ke beberapa daerah lain di Bali oleh misionaris asal Jawa Timur.

Para pemeluk Kristen kemudian menyebar ke daerah pedalaman di Desa Palasari, Desa Gumbrih dan beberapa desa sekitarnya di wilayah Kabupaten Jembrana, Bali barat.

Selain itu juga berkembang ke wilayah Kabupaten Tabanan, khususnya di desa Piling, Negesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan daerah lainnya di Pulau Dewata.

Oleh sebab itu perayaan Natal di desa-desa di Bali umumnya berbeda dengan perayaan Natal di gereja-gereja yang ada di jantung Kota Denpasar maupun hotel-hotel berbintang di kawasan Nusa Dua, Kuta, Kabupaten Badung maupun Sanur, Kota Denpasar.

Tradisi Unik
Umat Kristiani di Banjar Tuka, Dalung dan daerah pedesaan lainnya di Kabupaten Jembrana dan Tabanan pada perayaan Natal sebagian besar mengenakan pakaian adat ala umat Hindu di Bali saat melaksanakan kegiatan ritual.

Mereka mengenakan kain, selendang kuning dan destar untuk pria serta memakai kebaya bagi wanita. Mereka datang ke gereja-gereja yang dihias pohon Natal, sesaji serta kombinasi buah dan janur (gebogan).

Toleransi kehidupan beragama di Bali demikian kuatnya, antara lain tercermin dari penggunaan bahasa Bali (sebagai muatan lokal) dalam kidung kebaktian seperti yang sering dikumandangkan di Gereja Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka maupun di gereja Palasari, Gumbrih, Kabupaten Jembrana.

Senantiasa tertib dan khidmatnya perayaan Natal maupun perayaan hari-hari besar umat beragama lainnya di Pulau Dewata merupakan salah satu cermin dari kuatnya toleransi kehidupan antarumat beragama di Bali.

Gereja Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka, misalnya mewarisi sebuah perangkat gamalen, alat musik tradisional Bali seperti yang umumnya diwarisi setiap desa adat di Pulau Dewata.

Alat musik tradisional itu dimanfaatkan untuk mengiringi lagu-lagu latin, lagu dalam bahasa Indonesia maupun lagu dalam bahasa daerah Bali.

Alat musik dengan berbagai instrumen itu biasa digunakan untuk melengkapi kegiatan ritual gereja, termasuk misa suci perayaan Natal. Kreasi dan inovasi yang melibatkan anak-anak muda gereja itu tidak lepas dari pakem dan kaidah dalam kesenian Bali, tutur Ketut Jack Mudastra, pensiunan PNS Pemprov Bali.



Empat Kali Misa
Gereja Paroki Tritunggal Mahakudus Banjar Tuka, yang bangunannya mencerminkan keterpaduan antara arsitektur tradisional Bali dengan tekstur bangunan gereja di Eropa, khususnya Romawi kuno itu menggelar empat kali misa suci perayaan Natal 2012.

Perayaan misa Natal pertama dilakukan sehari sebelum Natal yakni pada Senin malam (24/12) pukul 18.00 Wita dan pada hari Raya Natal, Hari Selasa (25/12).

Sedangkan keesokan harinya, Rabu (26/12), misa dilakukan pada dua geraja yang berbeda yakni di Gereja Batu Lumbung dan Gereja Buduk.

Ketut Jack Mudastra menjelaskan, misa suci perayaan Natal itu dipimpin Romo Paulus Payong SPD dibantu Romo Martin SPD.

Gereja tua pertama di Bali itu berlokasi di tempat yang strategis di daerah pedesaan itu sudah pernah beberapa kali mengalami pemugaran, namun bangunannya tetap berarsitektur aslinya yang mencerminkan dua kutub budaya yang berbeda.

Rumah ibadah yang berkapasitas ratusan orang dengan halaman yang cukup luas sehingga mampu menampung luapan umat untuk mengikuti kebaktian, terutama pada perayaan Natal,

Alunan irama dan tembang berbahasa daerah Bali (kekidung) mengagungkan nama Tuhan Yesus Kristus bergema pada Kebaktian Perayaan Natal.

Selain tembang berbahasa Bali, kidung sebagai sarana doa dan puja-puji Tuhan sejak pagi hingga siang itu juga menggunakan bahasa Indonesia. Alunan tembang yang merdu dan syahdu dalam dua bahasa itu akan terdengar silih berganti dikumandangkan dari dalam ruang gereja tertua di Pulau Dewata. (*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012