Jakarta (Antara Bali) - Pengamat migas Sutadi Pudjo Utomo mengatakan, mekanisme kontrak bagi hasil (PSC) migas tidak mengenal adanya "cost recovery" atau biaya pemulihan, melainkan ongkos operasional.
       
"Biaya operasional atau 'operating cost' ini tidak dibayar oleh APBN atau uang negara, tetapi dengan hasil produksi minyak dan gas," katanya dalam diskusi "Mekanisme Production Sharing Contract (PSC): Proteksi Kepentingan Pemerintah dan Investor" di Jakarta, Kamis.
       
Sebelum jumlah biaya operasi ditentukan, lebih dulu diaudit oleh lima instansi negara. Kalau sampai terjadi "mark up" dalam biaya operasi, yang salah adalah lembaga yang mengaudit dan menyetujui besaran  biaya operasi itu.
       
Selain itu, dalam mekanisme PSC migas adanya kerugian negara sebenarnya baru bisa dilihat ketika audit final, pada saat kontrak berakhir.
       
Sebelum audit final dilakukan atau saat kontrak masih berlangsung, tidak dikenal adanya kerugian negara. Sebelum audit final, yang ada hanyalah "dispute" atau selisih.
       
"Maka dari itu, dengan dibawanya kasus bioremediasi Chevron ke ranah pidana, saya menilai telah terjadi 'hukum rimba' (pemaksaan hukum) terhadap PSC migas," ujarnya.
       
Intervensi pidana pada PSC akan dianggap sebagai tindakan kriminal di mata dunia, tambah mantan Direktur Keuangan Pertamina ini. (*/M038/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012