Ombudsman RI Perwakilan Bali mendorong desa adat di provinsi tersebut untuk segera meregistrasi aturan adat awig-awig dan pararem serta petunjuk teknis mengenai dudukan atau dana kontribusi yang dibayarkan oleh warga pendatang kepada Dinas Pemajuan Desa Adat (PMA) setempat.

"Kami ingin mendorong agar semua desa adat mulai meregister awig-awig dan pararem, sehingga nanti semua terverifikasi dan jelas dasar hukumnya. Jadi ketika mereka melakukan apapun di desa adat sudah jelas legalitasnya," kata Kepala Ombudsman Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti, di Denpasar, Rabu.

Sri menuturkan Ombudsman Bali sedang melakukan pengumpulan data terutama melalui sampel di desa adat yang berada di Kabupaten Klungkung, Badung, Gianyar, Tabanan, dan Kota Denpasar.

Ia mengatakan berdasarkan kajian, hingga saat ini dari 1.493 desa adat di Bali,  di antaranya baru sekitar 100 yang mengajukan awig-awig dan hanya satu yang telah mengajukan pararem terkait dudukan kepada warga pendatang, yaitu Desa Adat Tanjung Benoa.

"Ke depan dari amanat peraturan daerah kan awig-awig harus diregister ke Dinas PMA, sehingga bisa terverifikasi apakah sesuai dan tidak menabrak norma, demikian juga soal nominal dudukan, apa yang jadi dasar perhitungan pemungutan dana tersebut," ujar Sri.

Selain berupaya dalam pengambilan data, kata Sri, Ombudsman Bali juga turut mendorong agar sosialisasi kepada desa adat untuk meregistrasi awig-awig dan pararem segera dilakukan.

"Selama ini memang desa adat otonom, kami tidak bisa menyalahkan yang penting punya payung hukum. Sekarang pemerintah lewat peraturan daerah ingin ada penertiban itu, ada standarisasi," ujarnya.

Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng yang turut hadir di Kantor Ombudsman Bali menambahkan agar baiknya dalam penyusunan pararem dudukan melibatkan banyak pihak, terutama tokoh masyarakat.

Selain itu, menurut dia, penting untuk sosialisasi kepada masyarakat, khususnya warga pendatang yang belum tahu seluk beluk adat dan aturan di Pulau Dewata.

"Untuk warga di sana mungkin paham tapi yang baru datang kan tidak demikian. Di Bali banyak pendatang yang tidak paham konteks budaya, jadi sosialisasi semakin banyak orang dan sesering mungkin," sarannya.

Kemudian, kata Robert, di Indonesia pungutan sendiri hanya dibagi tiga yaitu pajak, retribusi, dan penerimaan negara bukan pajak, sehingga perlu upaya ekstra agar dudukan ke warga dapat dipatuhi, salah satunya memastikan terverifikasi legalitasnya.

"Karena bukan sifatnya memaksa, maka basis legitimasi ada penerimaan dan sukarela warga, agar tingkat penerimaan meningkat. Perlu upaya kreatif agar mereka bayar karena dia sadar kalau memang ini desa yang diakui, dan uang itu punya fungsi atau manfaat," tuturnya.
 

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023