Disrupsi adalah sebuah era yang merombak struktur komunikasi, bahkan disrupsi juga merupakan perubahan mendasar dari komunikasi nyata menjadi maya dengan berbasis viral yang menjadi "mesin pembunuh" sejumlah media massa.

Tak ayal, era disrupsi itu boleh dibilang sebagai "peperangan sesungguhnya", karena dahsyatnya melebihi perang nyata yang menyodorkan pilihan berupa menang atau kalah (tetap hidup), sedangkan era disrupsi (perang maya) itu menyodorkan pilihan lebih gawat, yakni mati atau berubah.

Bahkan, "perang" dalam era disrupsi itu juga meluas ke komunikasi non-media massa. Era disrupsi tidak hanya menyediakan "lapangan" untuk pertarungan antara informasi (media massa) dengan informasi hoaks (cenderung di medsos), namun era disrupsi juga menyediakan "ring" untuk pertikaian antara buzzer versus buzzer yang justru menghalalkan segala cara.

Dalam kondisi "edan" itu, siapa pun akan kelabakan untuk masuk ke lapangan/ring disrupsi yang sudah mirip zaman purbakala itu. Ibaratnya, teknologi semakin maju, namun manusia semakin purbakala, karena "menghalalkan" hoaks, buzzer, bully, atau ujaran kebencian (menyalahkan/mencela), seperti bukan manusia yang maju saja.

Namun, siapa pun tidak punya alternatif, kecuali memasuki lapangan/ring disrupsi dengan siasat yang waras, atau bermain "cantik" di tengah kegilaan tanpa obat itu. Caranya, jangan melayani "olok-olok" dengan "olok-olok" pula, karena hal itu sama dengan membuang energi/waktu tanpa hasil, apalagi seluruh informasi digital itu mencapai miliaran atau triliunan halaman.

Permainan yang "cantik" adalah perlawanan yang menggunakan cara-cara berbasis inovasi dan media sosial. Nah, permainan cantik seperti itulah yang pas diperankan oleh ANTARA (kantor berita milik negara atau milik pemerintah/masyarakat).

Apalagi, kantor berita negara itu didirikan para pejuang republik ini, yakni Adam Malik dkk pada 13 Desember 1937 atau tahun ini berusia ke-85 tahun. Awalnya, Adam Malik dkk mendirikan Kantor Berita ANTARA itu secara patungan dengan para wartawan pejuang lainnya untuk melawan "agitasi informasi" dari kantor berita milik kolonial, yakni ANETA.

Akhirnya, ANTARA pun menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa, karena ANTARA sangat berperan dalam penyebarluasan informasi tentang Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 lewat telex dari Jakarta ke seluruh penjuru negeri hingga negara lain yang akhirnya mendorong pengakuan kemerdekaan itu dari dunia (PBB) pada tahun 1949.

Di Bali, fakta historis itu tercatat dalam buku "Kiprah Kerobokan dan Peranan Markas 'K' Dalam Sejarah Pergerakan Perintis Kemerdekaan dan Revolusi Fisik 1945" yang ditulis oleh I Gusti Ketut Wibisana Aryadharma bahwa "Berita Proklamasi Kemerdekaan RI sampai ke Provinsi Bali karena dibawa oleh seorang wartawan ANTARA bernama Herman".

Tidak hanya itu, "kantor" penyiaran Berita Proklamasi Kemerdekaan RI yang dilakukan Herman (wartawan ANTARA) di Jalan Sumatera 56, Banjar Titih, Denpasar, Bali (d/h Restoran Betty) itu juga menjadi lokasi pertama pengibaran bendera merah putih di Bali pada 18 Agustus 1945. Hal yang sama juga terjadi di provinsi lain dan bahkan hingga ke negara lain.

Walhasil, ANTARA sebagai kantor berita negara sudah lama menjadi "corong" negara (publik dan pemerintah) yang "waras" sejak didirikan hingga kemerdekaan dan bahkan peran ANTARA kini semakin penting di era disrupsi, karena ANTARA sebagai kantor berita juga tidak terpengaruh untuk mementingkan viral semata dengan mengorbankan negara ini.

Selain waras, ANTARA juga berperan strategis sebagai kantor berita yang bisa melayani "serangan" media sosial yang bertubi-tubi bukan hanya dengan "balasan" yang sifatnya satu per-satu, mengingat akun medsos itu bukan puluhan, tapi ribuan, bahkan jutaan.

Ya, ANTARA sebagai kantor berita berperan sangat strategis dan cukup "waras". Ibarat "menembak" kerumunan buzzer dengan persenjataan yang lengkap dan pamungkas, sehingga negara/publik tidak disibukkan lagi oleh celoteh warganet yang kadang merengek tanpa data dan sangat mungkin "dipakai" buzzer untuk kepentingan politis/bisnis tertentu.

Apalagi, sejak menjadi BUMN melalui PP 40/2007 tentang ANTARA sejak 18 Juli 2007, ANTARA pun telah memiliki "senjata" yang sifatnya konvergensi dari teks/tulis, foto, video, infografis, hingga karangan khas/laporan khusus, yang hasilnya bisa menjadi "agenda setting" yang masif dan sangat efektif.

Ada setumpuk bukti yang mendukung efektivitas itu, misalnya ketika ANTARA dipercaya Pertamina dalam konversi minyak tanah ke gas (2011) yang akhirnya diterima publik, atau ketika ANTARA dimintai bantuan PT Krakatau Steel yang terancam "dijual" oleh negara hingga akhirnya batal, atau Bio Farma (polemik vaksin), PT Phapros, PT Inalum, dan sebagainya. Juga agenda-agenda "besar" dan "sukses": SEA Games, Annual Meeting IMF-WB, KTT G20, dan sebagainya.


Dorong "kesalehan" digital

Tidak hanya itu, "corong" ANTARA itu juga menemukan efektivitasnya di Bali ketika pada September 2017 tersiar kabar tentang Gunung Agung di Karangasem, Bali, meletus dan berdampak pada kelesuan sektor pariwisata pada titik terendah, padahal letusan atau erupsi itu tergolong masih "batuk" saja dalam radius yang juga sangat terbatas yakni 10 kilometer dari gunung itu.

Saat itu, peran ANTARA di Bali digambarkan Menteri Pariwisata saat itu (Menpar Arief Yahya) sebagai media yang berusaha keras untuk tidak melakukan generalisasi wilayah terdampak, karena generalisasi itu terbukti berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian/pariwisata.

"Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) anjlok hingga 1 juta orang dan potensi kehilangan devisa mencapai 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp15 triliun) secara nasional," kata Menpar Arief, saat itu (9/9/2019).

Akhirnya, ANTARA Biro Bali mewawancarai berbagai pihak untuk menunjukkan status erupsi Gunung Agung itu sebatas radius 10 km dari Gunung Agung, bukan se-Bali, sekaligus memetakan daerah terdampak untuk menggambarkan dampak sesungguhnya yang tidak segawat yang dibayangkan.

Walhasil, ANTARA yang memiliki peran kesejarahan yang sangat nasionalis dan juga didukung kisah sukses yang kontributif dengan informasi-informasi yang sangat "cantik", bukan sebatas viral, tapi kurang "waras". Bahkan, ANTARA sebagai lembaga penyebar informasi yang tetap menjaga kaidah-kaidah, bahasa, dan etika jurnalistik, bisa mendorong "kesalehan" informasi di era digital.

Kesalehan digital itu penting untuk didorong oleh ANTARA, karena pengguna smartphone di Indonesia adalah terbesar ketiga di Asia Pasifik, dengan media sosial favorit, yakni youtube dengan 113 juta pengguna, facebook dengan 111 juta pengguna, lalu Twitter, TikTok, dan 'transmedia' (perpaduan teks, suara, gambar, gerak).

Namun, publik Indonesia belum banyak yang "saleh" secara digital, mengingat publik Indonesia masih suka gosip, termasuk gosip digital dengan tema-tema yang berkisar SARA (suku/etnis, agama, ras/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin), atau politik (beda pilihan politik, bukan soal Negara/Bangsa).

Misalnya, video lama yang dimunculkan lagi, seperti Gempa di Cianjur (21/11/2022) yang justru diramaikan dengan video dari longsor di Palopo, Sulawesi Selatan (26/6/2020), atau 2 tahunan. Tentu banyak publik tertipu, apalagi kalau video dari luar/luar negeri tapi diberi narasi kejadian di dalam/dalam negeri.

Contoh isu SARA terkait video anak kecil dibunuh oleh Tentara Israel dengan narasi yang gempar yakni "Seorang polisi Israel mencekik seorang anak Palestina sampai mati pada hari Sabtu selama protes pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem. Bocah lugu itu bahkan baca Kalimat Syahadat sebelum meninggal...".

Faktanya, seorang pria yang diklaim polisi Israel sedang mencekik anak Palestina itu adalah kekerasan di Malmö, Swedia, yang dilakukan penjaga di stasiun kereta Malmö, Swedia. Mendapat perlakuan kasar, anak laki-laki itu mengucapkan Syahadat. Penjaga menahan bocah itu dan temannya karena naik kereta tanpa tiket.

Intinya, gosip digital itu bisa menjadi "jebakan" dalam bentuk informasi bohong/keliru maupun informasi realistis tapi "dibelokkan". Namun, gosip yang dicontohkan itu masih belum berdampak sampai mempengaruhi pemikiran, karena Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Achmad Uzair Fauzan mengutip data dari BNPT yang mencatat ada 9.000-an situs yang mengandung konten radikalisme atau konten keagamaan yang keliru.

Padahal, 54,87 persen generasi muda mencari referensi keagamaan melalui internet. "Dahulu, masyarakat mencari pemahaman keagamaan ke mimbar-mimbar pengajian, sekarang masyarakat mencarinya ke media sosial atau situs web. Jadi, harus hati-hati," katanya dalam Webinar 'Meningkatkan Kesadaran Bela Negara Melalui Pembentukan Karakter Pancasila pada Mahasiswa' di kanal YouTube HMPE UNY (27/11/2021).

Langkah untuk mencapai kesalehan digital ada tiga langkah yang disebut dalam Buku "Kesalehan Digital" (Penerbit CV Campustaka, Jakarta, 2022), yakni informasi memakai Sanad (narasumber dan narasumber kompeten), lalu Matan atau Konten Informasi yang berbasis Tabayyun (klarifikasi/akurasi/sanad kompeten), berbasis Keadilan/imbang/objektif/etis, dan berbasis ukhuwah/persaudaraan (bukan fitnah/ghibah).

Selain Sanad dan Matan, langkah ketiga adalah Rawi (Penyampai/Media) dapat dipastikan media terverifikasi yakni ada Badan Hukum (terdaftar di Dewan Pers/KemenkumHAM/organisasi profesi), ada Penanggungjawab (Tim Redaksi), dan ada Standar Kualitas/Etika (UKW, UU Pers, UU ITE, dan Etika Internal).

Ketiga langkah itu dapat diperankan secara "cantik" oleh Kantor Berita ANTARA yang sudah terbukti dalam peran-peran historis maupun peran-peran strategis nan "cantik" di era disrupsi, sehingga banyak menjadi rujukan negara, media, dan sejumlah narasumber sejak kelahirannya pada 85 tahun silam.

 
 

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022