Denpasar (Antara Bali) - Sekitar 12 pemuda Muslim dari Kampung Angantiga, Desa Petang, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, terlibat dalam upacara Hindu di Pemerajan Agung, Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Selasa.
    
Belasan pemuda yang menggunakan pakaian Muslim dengan kopiah hitam dan kopiah haji itu menggunakan seragam kaos hitam dipadu dengan celana panjang dan sarung. Mereka membawa tombak dan umbul-umbul untuk keperluan upacara.
    
Upacara untuk mengormati para leluhur di lingkungan keluarga puri tempat lahirnya pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai itu dihadiri penduduk kampung Muslim Angantiga, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak.
    
Jika kaum lelakinya ikut membawa perlengkapan prosesi upacara, maka kaum perempuan Angantiga yang umumnya mengenakan penutup kepala berupa jilbab dan anak-anak hanya mengikuti prosesi jalan kaki.

Sebelum mengikuti prosesi berjalan kaki dari lingkungan puri ke sebuah tempat untuk menyucikan diri, penduduk Muslim yang asal usulnya dari Suku Bugis, Sulawesi Selatan itu ditemui oleh penglingsir puri Carangsari AA Ngurah Bagus Suarmandala.
    
Sementara barang-barang suci dan keramat di dalam pemerajan (puri keluarga kerajaan) yang biasa disebut dengan "pratima" tidak dibawa oleh kaum Muslim, melainkan oleh tokoh dari keluarga puri saat prosesi berlangsung.
    
Sesepuh kampung Muslim Angatiga, Muhdin (70) mengatakan, dirinya sudah lama menjalin hubungan yang akrab dengan keluarga puri Carangsari karena memang memiliki ikatan sejarah. Leluhur mereka dulunya menjadi pasukan utama di puri tersebut.
    
"Kami bersyukur bahwa hubungan itu terus berlanjut hingga saat ini. Kami bersyukur karena meskipun beda agama, kami bisa saling menghomrati seperti sekarang ini," kata lelaki yang hanya mengerti sedikit bahasa Bugis itu.

Sementara Kepala Kampung Angatiga M Ramsudin yang terlibat dalam prosesi itu mengaku sangat senang karena pihaknya masih bisa berhubungan baik dengan keluarga puri Carangsari.
    
AA Ngurah Bagus Suarmandala mengatakan, pihaknya memang menghormati leluhur yag punya hubungan khusus dengan masyarakat Angantiga. Hal itu merupakan dari penghormatan pada leluhur yang memang memberikan wilayah kepada warga Muslim asal Bugis.
    
Ia menjelaskan bahwa kampung Muslim di wilayah kekuasaan puri Carangsari itu saat ini dihuni oleh sekitar 300 kepala keluarga Muslim.
    
"Dalam semua kegiatan keagamaan umat Hindu dan Islam, kami sudah biasa saling bergotong royong. Kalau ada upacara Hari Raya Hindu, umat Muslim Angan Tiga biasa membantu kami, termasuk membuat banten atau sesajen," katanya.
    
Suarmandala mengemukakan bahwa karena ada banten yang dibuat oleh umat Muslim, penduduk setempat biasa menamakan banten tersebut dengan sebutan "Bebangkit Islam". Karena dibuat oleh umat Muslim, maka banten tersebut tidak menggunakan babi, tapi diganti dengan ayam.
    
"Umat Muslim juga bergotong royong menyiapkan semua keperluan upacara umat Hindu di sini. Sebaliknya, kalau umat Muslim ada kegiatan hari besar, kami juga datang ke Masjid. Kami juga didaulat untuk memberikan sambutan di acara itu," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009