Para penabuh dari Sanggar Seni Selendro Agung, Kabupaten Badung, Bali mengalunkan tabuh terkesan syahdu yang terinspirasi dari gamelan tari Leko saat tampil dalam pergelaran Gong Suling Inovatif serangkaian dengan Pesta Kesenian Bali ke-44.

"Tabuh yang kami tampilkan ini merupakan garapan baru yang terinspirasi dari gamelan Leko yang terdapat di Desa Sibang Gede," kata Ketua Sanggar Seni Selendro Agung I Wayan Muliadi usai pementasan di Denpasar, Senin.

Barungan gamelan baru yang terdengar syahdu ini dinamakan Gamelan Selendro, menggabungkan antara Gamelan Semara Pagulingan dengan beberapa instrumen alat musik bambu seperti tingklik dan jegog, serta didominasi para pemain suling.

Meskipun dinamakan Gamelan Selendro, ujar dia, tidak semua tabuh yang dimainkan berlaras slendro, tetap ada juga yang berlaras pelog.

"Kami lebih menekankan pada permainan rasa. Berbeda sekali dengan teknik gamelan gong kebyar dan semara pegulingan. Gamelan atau tabuh ini lebih menggunakan rasa. Jadi, pukulannya tidak boleh terlalu keras dan tidak boleh terlalu lemah. Yang jelas kita dapat merasakan alat yang dimainkan," ujarnya.

Oleh karena terinspirasi dari nuansa gamelan tari Leko sehingga dalam garapan yang ditampilkan sengaja menggunakan sejumlah instrumen bambu.

Baca juga: Akademisi: Pemuliaan air jadi pilihan utama dalam arsitektur Bali

"Tari Leko itu adalah kesenian klasik dan saat ini sudah minim peminatnya, sehingga dari sana kami mencoba menggali kembali menjadi gubahan baru," ucap Muliadi yang sanggarnya berlokasi di Banjar Saren, Desa Sibang Kaja, Kabupaten Badung itu.

Sanggar yang telah berdiri sejak lima tahun lalu itu, dalam pementasan di Pesta Kesenian Bali melibatkan 26 penabuh, tiga penari, dua orang sebagai gerong dan satu orang sebagai sendon.

Pementasan yang berlangsung sekitar satu jam itu memukau dan mengundang decak kagum para penonton yang memenuhi Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali.

Ada tiga tabuh yang dibawakan dengan apik, yakni Tabuh Temuku Aya, Tembang Tegal dan Gegirang. Khususnya, Tembang Tegal, terinspirasi dari gending sesandaran Barong Landung khas Desa Tegal sampai Desa Blahkiuh yang telah menjadi warisan budaya hingga saat ini.

Suasana pergelaran makin hidup ketika para penembang juga membawakan dialog mengenai pentingnya memuliakan air sesuai dengan tema Pesta Kesenian Bali ke-44, "Danu Kerthi Huluning Amreta, Memuliakan Air Sumber Kehidupan".

Baca juga: Demonstrasi memohon hujan Gebug Ende meriahkan "Jantra Tradisi Bali"

"Iya semua yang kami tampilkan memang mengacu kepada tema PKB. Temuku Aya misalnya, berfungsi sebagai saluran irigasi air primer yang berfungsi sebagai saluran utama untuk memecah arus air pada sistem subak," ucapnya.

Berpijak pada fenomena tersebut, pihaknya mentransformasikan ke dalam sebuah penataan komposisi karawitan gong suling inovatif dengan mengolah unsur musikal sebagai transformasi dari fenomena arus air.

Selain menampilkan tiga tabuh, di tengah-tengah pementasan disajikan tari Legong Kreasi Sulukat. Sulukat berasal dari kata "su" yang berarti baik dan "lukat" yang berarti penyucian. Umat Hindu sering menyebut dengan "melukat" yakni pembersihan diri dari unsur mala dengan menggunakan media air suci.

Pada garapan yang dibawakan oleh tiga penari perempuan itu menginterpretasikan karakter air segara yang bergelombang keras dan air gunung yang lebih tenang dengan gemericiknya.

"Dua air tersebut kemudian dilakukan upacara penyucian atau pemuliaan sehingga menjadi Tirta Segara Gunung yang dipercaya oleh umat Hindu mampu membersihkan segala mala yang ada pada jasmani dan rohani manusia," kata Muliadi.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022