Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Hamparan lahan pertanian  yang berundak-undak (terasering) Jatiwulih, kawasan Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Bali, tampak menguning, beberapa saat sebelum petani melakukan panen raya.

Ratusan petani yang terhimpun dalam subak Mekayu Gunung Sari Desa Jatiluwih menanam dan memelihara tanaman padi jenis lokal, yakni padi beras merah.

Padi jenis ini sejak ditanam hingga panen membutuhkan waktu selama lima bulan (150 hari), lebih lama dibanding varietas unggul yang hanya membutuhkan waktu 80-90 hari.

"Padi jenis lokal tetap dipertahankan petani setempat secara turun temurun, tanpa pernah menanam padi varitas unggul yang diperkenalkan pemerintah, karena hanya padi jenis lokal yang cocok tumbuh di daerah pegunungan dengan kondisi yang berbukit-bukit," tutur Kelian (Ketua)  Subak Mekayu Gunung Sari, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan I Gede Made Suparta (44), baru baru ini.

Pria yang menggarap lahan pertanian seluas satu hektare itu menuturkan, panen raya dilakukan dengan mengetam padi menggunakan alat yang disebut "anggapan". Dengan alat sederhana itu hanya memotong pada bagian buah padi saja.

Hal itu berbeda dengan panen padi jenis varietas unggul yang menggunakan sabit untuk memotong batang padi yang kemudian dipukulkan pada suatu alat sehingga memperoleh gabah (biji-biji padi).

Namun padi jenis lokal Bali, yakni padi beras merah tumbuhnya lebih tinggi dan hasil yang diperoleh lebih banyak dibanding menanam padi jenis varietas unggul, tutur Supatra yang akrab disapa Guru Putri.

Ayah dari seorang putra dan seorang putri dalam mengembangkan padi jenis lokal itu menggunakan pupuk organik buatan sendiri dari kotoran sapi dan ayam piaraannya.

Pupuk organik itu kadang kali dikombinasikan dengan pupuk urea sekitar 25 kilogram untuk pemupukan 25 are atau 100 kg untuk lahan satu hektare.

Lahan yang digarapnya itu terdiri atas 25 are sawah milik pribadi dan 75 are milik orang lain. Untuk garapan seluas 25 are menghasilkan sekitar enam kuwintal (600 kg) padi basah atau sekitar 400 kg setara beras.

Hal itu lebih tinggi dibanding menanam padi varietas unggul, karena jenis padi itu kurang cocok tumbuh di daerah pegunungan yang berhawa sejuk. Oleh sebab itu ratusan petani di Jatiluwih yang menggarap lahan sekitar 350 hektare itu semuanya menanam padi jenis lokal.

Selain hasilnya baik, juga harganya dua kali lipat dibanding harga beras varitas unggul seperti jenis  varitas inpari 8 maupun varietas Ciherang.
    
Pasaran ekspor
Komiditas beras merah hasil produksi petani  Jatiluwih,  Kabupaten Tabanan, Bali berhasil menembus pasaran ekspor, khususnya Filipina dan Jepang, meskipun masih kecil jumlahnya.

Beras merah mulai menjadi matadagangan ekspor dan secara berkala dikirim ke Filipina dan Jepang, tutur Wayan Angga, seorang eksporter yang baru merintis usaha ekspor beras bekerja sama dengan pengusaha dari Bandung.

Jumlah beras merah yang diekspor ke Filiina itu belum terlalu besar, yakni sekitar 3-4 ton setiap kali musim panen. Bali juga sedang berupaya untuk menjadikan beras kualitas baik menjadi matadagangan ekspor.

Ribuan petani di kawasan Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan yang telah ditetapkan UNESCO menjadi warisan budaya dunia (WBD) di Bali, sepakat untuk mempertahankan lahan garapannya sebagai kawasan pertanian dan tidak akan menjualnya jika peruntukannya di luar sektor pertanian.

Prof Dr I Wayan Windia, guru besar Universitas Udayana yang merangkap Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD Subak di Bali mengingatkan, kesepakatan petani itu perlu dipertahankan.

Upaya tersebut diharapkan mampu menjadikan petani merasa aman dan nyaman menggeluti kegiatannya dalam bidang pertanian. Petani setempat selama ini merasa nyaman, karena produksi beras merah harganya dua kali lipat dengan harga beras biasa.

Dalam perkembangan ke depan pemerintah juga perlu memberikan kemudahan lainnya kepada petani, antara lain membebaskan pajak dan tersedianya fasilitas irigasi yang memadai.

Pemerintah dan masyarakat Bali sangat berkepentingan terhadap pengukuan dan pengakuan UNESCO, bukan kepentingan dunia internasional.

Oleh sebab itu semua pihak diharapkan berperan serta secara aktif dalam memelihara kelangsungan WBD tersebut," ujar Prof Windia.(IGT/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012