Denpasar (Antara Bali) - Enam perupa senior menggelar pameran bersama bertema Zona Bebas di Maha Art Gallery, Sector Club, Sanur, Bali, sekaligus sebagai bentuk "protes" terhadap pandangan yang sedang berkembang di era karya kontemporer.

Keenam perupa yang akan menggelar karyanya mulai Rabu (9/12) hingga 18 Januari 2010 tersebut adalah, Arahmaiani (48), Astari (56), Made Djirna (52), Ito Joyoatmojo (51), Tatang Bsp (44), dan Wayan Sujana "Suklu" (40), demikian dijelaskan di lokasi pameran di Sanur, Selasa.

Menurut Putu Wirata Dwikora, kurator pameran yang menampilkan belasan karya tersebut, berkembangnya anggapan bahwa kini eranya karya kontemporer atau gaya kontemporer perupa-perupa China, telah menjadi "teror" yang dahsyat hingga membuat terpasungnya kreativitas perupa-perupa muda.

"Banyak yang minder, tidak berani menggelar pameran, hanya karena karyanya berbeda aliran. Tidak termasuk gaya kontemporer yang sedang tren. Ini memasung kreativitas perupa-perupa yang belum berpengalaman. Yang belum memiliki nyali untuk 'melawan arus'. Ini bahaya, harus kita 'perangi'," ucap Bli Putu, sapaan akrab Putu Wirata Dwikora.

Melalui pameran bertema "Zona Bebas", diharapkan akan mampu menyemangati para perupa yang sempat terpasung kreativitasnya tersebut. "Kita harus kembalikan pada ruh-nya. Bahwa membuat karya seni itu bebas. Sebebas-bebasnya, sehingga muncul kreativitas," ucapnya.

Demam wacana kontemporer, tambahnya, seakan mengubur dan menenggelamkan kreativitas kaum tradisi serta neo-tradisi. Demikian pula yang mendapat cap sebagai karya modern atau posmodern, juga tak berani muncul.

Gagasan menggelar pameran Zona Bebas yang didukung penasehat Maha Art Gallery, Made Wianta, Chusin Setiadikara dan lainnya, diharapkan mampu mengakomodir semua aliran karya lukis untuk kembali bangkit, tidak lagi "terpasung" oleh wacana kontemporer.

Pemilik Maha Art Gallery, Agus Maha Usadha, berharap kegiatan pameran, menyusul digelarnya pameran yang menampilkan karya dari enam pelukis ternama (Six Masters From Bali), akan mampu menyemarakkan kembali dunia seni rupa yang sedang tenggelam oleh "teror" wacana kontemporer.

Pada kesempatan itu hadir Arahmaiani yang dikenal dengan sebutan Yani, menampilkan karya Lelaki, sebagai bentuk introspeksi diri menuju peningkatan aspek religiusitas, setelah berbagai kritik sosial belum juga mampu menekan kebobrokan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ito Joyoatmojo menampilkan karya Rumput Hijau, yang lebih tajam dari rumput asli, sebagai ekspresi kebebasan dalam dunia berkesenian. Made Djirna masih dengan tema lama, figur-figur perempuan yang banyak memberi inspirasi. Berkembangnya dunia maya, digambarkan pada tiga kepala atau otak manusia dengan segala pikiran dan keinginan, tanpa perlu lagi aktivitas fisik.

Wayan Sujana Suklu dari ISI Denpasar menekankan perlunya spirit repetisi dalam lanskap alam. Sementara Astari, dulu dikenal sebagai Astari Rasyid, yang hadir belakangan, menampilkan tema tas jinjing dengan setumpuk media bacaan, selain tas dengan deretan tulisan aksara Jawa yang sudah jarang dipahami oleh masyarakat Jawa.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009