Kedua tim memang berbeda gaya bermain, namun memiliki kemiripan dalam perjalanan menuju final Euro 2020 di Stadion Wembley, Senin dini hari pukul 02.00 WIB.
Baik Inggris maupun Italia memasuki putaran final Euro 2020 dari titik nadir sejarah sepak bola mereka yang sama-sama membuat suporter kecewa berat.
Bagi Inggris, titik nadir itu adalah tersingkir dari babak 16 besar Euro 2016 oleh Islandia yang profilnya di bawah Three Lions, sedangkan titik nadir Italia lebih rendah lagi setelah hanya bisa menjadi penonton putaran final Piala Dunia di Rusia tiga tahun silam.
FA awalnya tak memilih Gareth Southgate untuk mereformasi Inggris karena yang mereka pilih adalah Sam Allardyce. Namun komentar buruk mengenai FA yang terekam kamera tersembunyi media, membuat Allardyce dipecat. Dan jadilah Southgate si pelatih U-21 menjadi pelatih Three Lions.
Southgate langsung memanfaatkan generasi muda berbakat dari tim U-21 dan akademi muda klub-klub Liga Premier. Tapi keputusan terpentingnya adalah mengubah budaya dalam timnas.
Dia tak segan menelepon pemain yang dia inginkan yang tak terjadi di masa lalu. Southgate juga membina hubungan yang baik dengan media. Nada komunikasinya disukai banyak kalangan karena memesankan kepositifan dan realisme.
Hasilnya, Inggris mencapai empat besar Piala Dunia 2018 dan kemudian, bersama skuad mudanya, lolos putaran final Euro 2020, dengan membawa optimisme.
Tetapi bagi pemain-pemain yang merasakan kepahitan akibat gagal pada turnamen sebelumnya, trauma tentu masih membekas.
“Jika saya teringat kepada Euro yang terakhir ketika kami disingkirkan Islandia, itu masih menghantui saya,” kata bek kanan Kyle Walker seperti dikutip Reuters. “Tapi kini kami jauh lebih matang.”
Roberto Mancini juga berangkat dari kemuraman setelah Italia gagal mencapai putaran final Piala Dunia di Rusia karena tim Gian Piero Ventura dikalahkan Swedia dalam playoff.
Seperti Southgate, Mancini mengalihkan perhatian kepada pemain muda. Namun pengaruh terbesarnya kepada Azzurri adalah gaya bermain yang jauh lebih atraktif.
Italia memasang formasi 4-3-3 dengan menaruh dua playmaker di lini tengah yang biasanya Jorginho dan Marco Verratti, guna mendukung dua pemain sayap yang gemar menusuk kotak penalti dari samping dan dua bek sayap yang agresif menyerang dari lebar lapangan.
Namun revolusi yang dilakukan Mancini tak merusak fundamental Azzurri dengan maish mempertahankan dua gladiator pertahanan berpengalaman Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Dua orang ini menjadi simbol masih adanya catenaccio di dalam tim yang eksplosif menyerang. Italia pun tak terkalahkan dalam 33 pertandingan terakhir.
Selanjutnya: rutinitas final bagi Italia
Kalau Inggris hanya satu kali mencapai final turnamen besar yang mereka menangkan pada Piala Dunia 1966, maka bagi Italia, partai final adalah rutinitas di mana final Euro 2020 adalah final kesepuluhnya dalam turnamen besar.
“Awalnya ketika dia bilang pada kepada kami agar memikirkan menjadi juara Euro, kami anggap dia gila,” kata Chiellini. “Namun bertahun-tahun kemudian dia telah menciptakan tim yang kini hampir melakukan hal itu.”
Ya, kalau Inggris sudah separuh langkah menuju juara, demikian pula dengan Italia. Namun Azzurri punya rapor yang bagus selama bertemu Inggris yang sudah empat kali mereka kalahkan dalam turnamen besar.
Tetapi mereka kini harus menghadapi Inggris yang disokong 60.000 penonton yang sangat pro-Inggris.
Italia tak gentar karena sudah terbiasa menjalani final di negeri orang. Dari lima kali menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa, tiga di antaranya terjadi di luar Italia yang semuanya pada Piala Dunia; 1938 di Prancis, 1982 di Spanyol dan 2006 di Jerman.
Yang juga menarik adalah kedua tim memiliki skuad yang kualitasnya merata baik tim inti maupun tim cadangan.
Oleh karena itu, faktor penentu laga mungkin adalah kejelian Southgate dan Mancini dalam membaca pertandingan. Dan sejauh ini mereka jeli menganalisis laga dan kebutuhan timnya. Sayang, dalam final tak mungkin keduanya berhasil,.
Prediksi sebelas pemain pertama:
Prediksi sebelas pemain pertama:
Italia (4-3-3): Gianluigi Donnarumma; Giovanni Di Lorenzo, Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini, Emerson Palmieri; Nicolo Barella, Jorginho, Marco Verratti; Federico Chiesa, Ciro Immobile, Lorenzo Insigne
Inggris (4-2-3-1): Jordan Pickford; Kyle Walker, John Stones, Harry Maguire, Luke Shaw; Declan Rice, Kalvin Phillips; Bukayo Saka, Mason Mount, Raheem Sterling; Harry Kane
Selanjutnya: skenario pertandingan
Skenario pertandingan
Di luar Leonardo Spinazzola yang cedera ketika melawan Belgia, Italia tidak direpotkan oleh masalah kebugaran pemain-pemainnya. Roberto Mancini memiliki skuad sepenuhnya siap diturunkan melawan Inggris dalam formasi 4-3-3.
Di depan gawang, Gianluigi Donnarumma tak tergantikan. Sedangkan dua bek tengah Leonardo Bonucci dan kapten Giorgio Chiellini akan membentuk barikade pertahanan untuk menghentikan Harry Kane. Mereka akan diapit oleh bek kanan Giovanni Di Lorenzo dan bek kanan Emerson Palmieri, tapi Emerson bisa menjadi titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Inggris.
Untuk lini kedua, Italia mempertahankan trio gelandang yang menjadi fondasi permainan Azzurri. Dengan demikian, Jorginho kembali mengisi menghentikan Inggris dalam membangun serangan dari tengah sembari membantu Italia mengendalikan lalu lintas bola lewat kemampuannya dalam mendikte tempo permainan Sedangkan Nicolo Barella dan Marco Verratti,ditugaskan melancarkan tekanan ke daerah pertahanan Inggris sampai tak bisa beroperasi di jantung pertahanan Italia. Duet ini juga tenaga-tenaga kreatif dalam membebaskan para penyerang untuk leluasa merusak lini belakang Inggris.
Di sepertiga terakhir lapangan, Federico Chiesa, Lorenzon Insigne dan Ciro Immobille akan membentuk trisula serangan yang siap meneror Inggris. Chiesa akan kembali menjadi starter yang kemungkinan mengisi posisi sayap kanan. Sedangkan di sayap kiri, Lorenzo Insigne bakal menjadi ancaman konstan bagi Inggris, yang disokong oleh kemampuan berlarinya yang kencang.
Ciro Immobile tetap dipasang sebagai pengisi nomor 9 guna menghadapi pertahanan Inggris secara fisik sangat tangguh. Mancini bisa juga memasang Insigne sebagai false nine yang diapit Chiesa dan Berardi.
Sebaliknya, Three Lions mendapatkan pukulan setelah Phil Foden mengalami cedera ringan saat berlatih sehari sebelum pertandingan final ini. Masih belum pasti apakah gelandang Manchester City ini sudah pulih saat pertandingan ini kickoff.
Namun di luar Foden, pelatih Gareth Southgate tak mengalami masalah berarti dalam hal kebugaran pemain. Dia masih dilimpahi opsi-opsi ofensif yang siap dimainkan seandainya Foden tak bisa tampil.
Southgate kemungkinan memasang formasi 4-2-3-1 yang hampir selalu dia pasang selama Euro 2020. Dia tidak akan memasang formasi tiga bek tengah yang pernah dia pakai sebelum ini. Jordan Pickford akan kembali menjaga gawang yang akan dilindungi dua palang pintu John Stones dan Harry Maguire yang menjadi cadas yang sulit ditembus lawan.
Kyle Walker mengisi posisi bek kanan untuk bermitra dengan Luke Shaw di bagian kiri sayap pertahanan Inggris. Tetapi bintang Manchester United yang menjadi salah satu kreator utama penciptaan peluang Inggris ini tak akan terlalu leluasa membantu serangan karena akan disibukkan oleh Federico Chiesa yang sangat dinamis itu.
Southgate juga tidak mau beralih dari duo Declan Rice dan Kalvin Phillips yang menjadi poros ganda permain. Kedua pemain ini bermain cair sehingga efektif memainkan peran mereka.
Untuk menandangi Jorginho si jenderal lapangan tengah Azzurri, gelandang Italia ini akan diganggu oleh rekannya sesama pemain Chelsea, Mason Mount. Mount akan mengisi peran nomor 10 guna menciptakan prolog untuk serangan-serangan yang ditindaklanjuti para striker.
Raheem Sterling dan kapten Harry Kane juga tak tergantikan Seperti yang sudah-sudah Southgate hanya akan mengutak-atik sayap kanan serangan di mana pilihannya kini hampir selalu antara Jadon Sancho dan Bukayo Saka. Tetapi Saka yang tampil cemerlang saat melawan Denmark yang akan dipasang sebagai starter.
Selanjutnya: statistik pertemuan kedua tim
Statistik pertemuan kedua tim
Kedua tim hanya sekali bertemu pada fase gugur turnamen besar ketika Italia menang adu penalti dalam Euro 2012 di Ukraina.
Pertemuan pertama mereka dalam turnamen besar terjadi pada Euro 1980 ketika Marco Tardelli memperdaya kiper Inggris Peter Shilton untuk menang 1-0 dalam fase grup.
Pada 1990, mereka bertemu dalam perebutan tempat ketiga Piala Dunia dan tendangan penalti Salvatore Schillaci mengantarkan Azzurri menang 2-1 atau Three Lions.
Mereka bertemu lagi dalam fase grup Piala Dunia 2014 di Brazil. Kali ini Mario Balotelli yang menjadi pahlawan kemenangan 2-1 Italia atas Inggris. Empat tahun kemudian dalam Piala Dunia 2018 mereka imbang 1-1.
Secara umum mereka sudah 27 kali bertemu, Italia memang 11 kali, sedangkan Inggris menang delapan kali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Baik Inggris maupun Italia memasuki putaran final Euro 2020 dari titik nadir sejarah sepak bola mereka yang sama-sama membuat suporter kecewa berat.
Bagi Inggris, titik nadir itu adalah tersingkir dari babak 16 besar Euro 2016 oleh Islandia yang profilnya di bawah Three Lions, sedangkan titik nadir Italia lebih rendah lagi setelah hanya bisa menjadi penonton putaran final Piala Dunia di Rusia tiga tahun silam.
FA awalnya tak memilih Gareth Southgate untuk mereformasi Inggris karena yang mereka pilih adalah Sam Allardyce. Namun komentar buruk mengenai FA yang terekam kamera tersembunyi media, membuat Allardyce dipecat. Dan jadilah Southgate si pelatih U-21 menjadi pelatih Three Lions.
Southgate langsung memanfaatkan generasi muda berbakat dari tim U-21 dan akademi muda klub-klub Liga Premier. Tapi keputusan terpentingnya adalah mengubah budaya dalam timnas.
Dia tak segan menelepon pemain yang dia inginkan yang tak terjadi di masa lalu. Southgate juga membina hubungan yang baik dengan media. Nada komunikasinya disukai banyak kalangan karena memesankan kepositifan dan realisme.
Hasilnya, Inggris mencapai empat besar Piala Dunia 2018 dan kemudian, bersama skuad mudanya, lolos putaran final Euro 2020, dengan membawa optimisme.
Tetapi bagi pemain-pemain yang merasakan kepahitan akibat gagal pada turnamen sebelumnya, trauma tentu masih membekas.
“Jika saya teringat kepada Euro yang terakhir ketika kami disingkirkan Islandia, itu masih menghantui saya,” kata bek kanan Kyle Walker seperti dikutip Reuters. “Tapi kini kami jauh lebih matang.”
Roberto Mancini juga berangkat dari kemuraman setelah Italia gagal mencapai putaran final Piala Dunia di Rusia karena tim Gian Piero Ventura dikalahkan Swedia dalam playoff.
Seperti Southgate, Mancini mengalihkan perhatian kepada pemain muda. Namun pengaruh terbesarnya kepada Azzurri adalah gaya bermain yang jauh lebih atraktif.
Italia memasang formasi 4-3-3 dengan menaruh dua playmaker di lini tengah yang biasanya Jorginho dan Marco Verratti, guna mendukung dua pemain sayap yang gemar menusuk kotak penalti dari samping dan dua bek sayap yang agresif menyerang dari lebar lapangan.
Namun revolusi yang dilakukan Mancini tak merusak fundamental Azzurri dengan maish mempertahankan dua gladiator pertahanan berpengalaman Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Dua orang ini menjadi simbol masih adanya catenaccio di dalam tim yang eksplosif menyerang. Italia pun tak terkalahkan dalam 33 pertandingan terakhir.
Selanjutnya: rutinitas final bagi Italia
Kalau Inggris hanya satu kali mencapai final turnamen besar yang mereka menangkan pada Piala Dunia 1966, maka bagi Italia, partai final adalah rutinitas di mana final Euro 2020 adalah final kesepuluhnya dalam turnamen besar.
“Awalnya ketika dia bilang pada kepada kami agar memikirkan menjadi juara Euro, kami anggap dia gila,” kata Chiellini. “Namun bertahun-tahun kemudian dia telah menciptakan tim yang kini hampir melakukan hal itu.”
Ya, kalau Inggris sudah separuh langkah menuju juara, demikian pula dengan Italia. Namun Azzurri punya rapor yang bagus selama bertemu Inggris yang sudah empat kali mereka kalahkan dalam turnamen besar.
Tetapi mereka kini harus menghadapi Inggris yang disokong 60.000 penonton yang sangat pro-Inggris.
Italia tak gentar karena sudah terbiasa menjalani final di negeri orang. Dari lima kali menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa, tiga di antaranya terjadi di luar Italia yang semuanya pada Piala Dunia; 1938 di Prancis, 1982 di Spanyol dan 2006 di Jerman.
Yang juga menarik adalah kedua tim memiliki skuad yang kualitasnya merata baik tim inti maupun tim cadangan.
Oleh karena itu, faktor penentu laga mungkin adalah kejelian Southgate dan Mancini dalam membaca pertandingan. Dan sejauh ini mereka jeli menganalisis laga dan kebutuhan timnya. Sayang, dalam final tak mungkin keduanya berhasil,.
Prediksi sebelas pemain pertama:
Prediksi sebelas pemain pertama:
Italia (4-3-3): Gianluigi Donnarumma; Giovanni Di Lorenzo, Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini, Emerson Palmieri; Nicolo Barella, Jorginho, Marco Verratti; Federico Chiesa, Ciro Immobile, Lorenzo Insigne
Inggris (4-2-3-1): Jordan Pickford; Kyle Walker, John Stones, Harry Maguire, Luke Shaw; Declan Rice, Kalvin Phillips; Bukayo Saka, Mason Mount, Raheem Sterling; Harry Kane
Selanjutnya: skenario pertandingan
Skenario pertandingan
Di luar Leonardo Spinazzola yang cedera ketika melawan Belgia, Italia tidak direpotkan oleh masalah kebugaran pemain-pemainnya. Roberto Mancini memiliki skuad sepenuhnya siap diturunkan melawan Inggris dalam formasi 4-3-3.
Di depan gawang, Gianluigi Donnarumma tak tergantikan. Sedangkan dua bek tengah Leonardo Bonucci dan kapten Giorgio Chiellini akan membentuk barikade pertahanan untuk menghentikan Harry Kane. Mereka akan diapit oleh bek kanan Giovanni Di Lorenzo dan bek kanan Emerson Palmieri, tapi Emerson bisa menjadi titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Inggris.
Untuk lini kedua, Italia mempertahankan trio gelandang yang menjadi fondasi permainan Azzurri. Dengan demikian, Jorginho kembali mengisi menghentikan Inggris dalam membangun serangan dari tengah sembari membantu Italia mengendalikan lalu lintas bola lewat kemampuannya dalam mendikte tempo permainan Sedangkan Nicolo Barella dan Marco Verratti,ditugaskan melancarkan tekanan ke daerah pertahanan Inggris sampai tak bisa beroperasi di jantung pertahanan Italia. Duet ini juga tenaga-tenaga kreatif dalam membebaskan para penyerang untuk leluasa merusak lini belakang Inggris.
Di sepertiga terakhir lapangan, Federico Chiesa, Lorenzon Insigne dan Ciro Immobille akan membentuk trisula serangan yang siap meneror Inggris. Chiesa akan kembali menjadi starter yang kemungkinan mengisi posisi sayap kanan. Sedangkan di sayap kiri, Lorenzo Insigne bakal menjadi ancaman konstan bagi Inggris, yang disokong oleh kemampuan berlarinya yang kencang.
Ciro Immobile tetap dipasang sebagai pengisi nomor 9 guna menghadapi pertahanan Inggris secara fisik sangat tangguh. Mancini bisa juga memasang Insigne sebagai false nine yang diapit Chiesa dan Berardi.
Sebaliknya, Three Lions mendapatkan pukulan setelah Phil Foden mengalami cedera ringan saat berlatih sehari sebelum pertandingan final ini. Masih belum pasti apakah gelandang Manchester City ini sudah pulih saat pertandingan ini kickoff.
Namun di luar Foden, pelatih Gareth Southgate tak mengalami masalah berarti dalam hal kebugaran pemain. Dia masih dilimpahi opsi-opsi ofensif yang siap dimainkan seandainya Foden tak bisa tampil.
Southgate kemungkinan memasang formasi 4-2-3-1 yang hampir selalu dia pasang selama Euro 2020. Dia tidak akan memasang formasi tiga bek tengah yang pernah dia pakai sebelum ini. Jordan Pickford akan kembali menjaga gawang yang akan dilindungi dua palang pintu John Stones dan Harry Maguire yang menjadi cadas yang sulit ditembus lawan.
Kyle Walker mengisi posisi bek kanan untuk bermitra dengan Luke Shaw di bagian kiri sayap pertahanan Inggris. Tetapi bintang Manchester United yang menjadi salah satu kreator utama penciptaan peluang Inggris ini tak akan terlalu leluasa membantu serangan karena akan disibukkan oleh Federico Chiesa yang sangat dinamis itu.
Southgate juga tidak mau beralih dari duo Declan Rice dan Kalvin Phillips yang menjadi poros ganda permain. Kedua pemain ini bermain cair sehingga efektif memainkan peran mereka.
Untuk menandangi Jorginho si jenderal lapangan tengah Azzurri, gelandang Italia ini akan diganggu oleh rekannya sesama pemain Chelsea, Mason Mount. Mount akan mengisi peran nomor 10 guna menciptakan prolog untuk serangan-serangan yang ditindaklanjuti para striker.
Raheem Sterling dan kapten Harry Kane juga tak tergantikan Seperti yang sudah-sudah Southgate hanya akan mengutak-atik sayap kanan serangan di mana pilihannya kini hampir selalu antara Jadon Sancho dan Bukayo Saka. Tetapi Saka yang tampil cemerlang saat melawan Denmark yang akan dipasang sebagai starter.
Selanjutnya: statistik pertemuan kedua tim
Statistik pertemuan kedua tim
Kedua tim hanya sekali bertemu pada fase gugur turnamen besar ketika Italia menang adu penalti dalam Euro 2012 di Ukraina.
Pertemuan pertama mereka dalam turnamen besar terjadi pada Euro 1980 ketika Marco Tardelli memperdaya kiper Inggris Peter Shilton untuk menang 1-0 dalam fase grup.
Pada 1990, mereka bertemu dalam perebutan tempat ketiga Piala Dunia dan tendangan penalti Salvatore Schillaci mengantarkan Azzurri menang 2-1 atau Three Lions.
Mereka bertemu lagi dalam fase grup Piala Dunia 2014 di Brazil. Kali ini Mario Balotelli yang menjadi pahlawan kemenangan 2-1 Italia atas Inggris. Empat tahun kemudian dalam Piala Dunia 2018 mereka imbang 1-1.
Secara umum mereka sudah 27 kali bertemu, Italia memang 11 kali, sedangkan Inggris menang delapan kali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021