"...Dalam vaksin Sinovac yang disuntikkan ke seseorang, virus dapat kembali hidup dan justru akan menjadikan orang itu terkena COVID-19...," demikian unggahan seorang warganet di Twitter.
Unggahan pada Jumat (22/1) itu muncul sebagai balasan atas unggahan warganet lain yang juga berprofesi sebagai dokter.
Dokter itu mengaku merasakan gejala seperti COVID-19 selang dua hari setelah mendapatkan suntikan vaksin. Namun, beragam balasan langsung muncul dari warganet lain.
"Virus itu bisa jadi mahluk hidup dan benda mati berbentuk kristal yang sewaktu-waktu bisa hidup lagi," demikian narasi balasan yang disampaikan warganet di Twitter.
Namun, benarkah virus dalam vaksin yang diproduksi dengan metode inaktif seperti Sinovac dapat kembali hidup?
Baca juga: Hoaks, Dokter di Palembang tewas setelah divaksin corona
Merujuk situs Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), terdapat empat tipe vaksin COVID-19 dari aspek pengembangannya, yaitu vaksin dari sumber virus (dua model yakni inaktif/dimatikan dan live attenuated/dilemahkan), vaksin dari asam nukleat (RNA atau DNA), vaksin berbasis protein (sub-unit dan partikel mirip virus), dan viral vektor (replikasi dan nonreplikasi).
Pada halaman penjelasan tentang tipe vaksin berasal dari sumber virus, vaksin dari virus inaktif atau mati berisi virus yang materi genetiknya sudah dihancurkan dengan panas, kimiawi, atau radiasi sehingga virus itu tidak dapat menginfeksi sel dan mereplikasi diri. Namun, virus inaktif itu masih dapat memicu sebuah respon kekebalan tubuh.
Berbeda dengan virus yang dilemahkan (live attenuated), vaksin dari virus inaktif lebih aman dan stabil. Tipe vaksin dari virus inaktif itu hanya dapat menstimulasi respon yang dimediasi oleh antibodi.
Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CCDC) Gao Fu, dalam berita ANTARA, menyatakan China memilih metode pengembangan vaksin dengan tipe inaktif karena telah memulai penelitian sejak Januari.
Gao Fu menyatakan vaksin inaktif dikembangkan dengan cara membunuh partikel virus agar terbentuk sistem kekebalan tubuh tanpa ada respons yang serius, sedangkan mRNA memicu tubuh membentuk protein yang cukup sehingga tercipta sistem kekebalan yang mampu menyerang virus.
Dengan demikian, virus inaktif di vaksin Sinovac tidak dapat hidup kembali atau bahkan mereplikasi diri. Unggahan dalam Twitter itu pun merupakan kabar informasi yang menyesatkan.
GeNose 10 detik?
"...GeNose akan dipakai di stasiun, bandara, dan tempat umum mulai 5 Februari karena dapat mendeteksi COVID-19 dalam 10 detik..", demikian sebuah pesan yang viral di aplikasi percakapan WhatsApp.
Alat pendeteksi COVID-19 berbasis embusan napas itu disebut akan diterapkan di sejumlah tempat umum dengan biaya Rp5 ribu hingga Rp10 ribu untuk setiap tes, sebagaimana disebut pada awal pesan yang beredar viral.
Namun pada akhir pesan, tes dengan alat ciptaan Tim Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) itu disebut berbiaya Rp15 ribu untuk satu kali uji pada satu orang.
Berikut pesan viral yang beredar itu:
"Mulai tgl 5 Feb'21 di station dan bandara dan tempat2 umum dikenakan biaya Rp 5 rb sd 10 rb per org per 1x test.. Ge Nose C19 Indonesia ngga kalah... Merdeka!!! Luar Biasa!!!!
Tes covid jadi simpel. Mudah n murah. Rp 15 rb, 10 detik, akurasi 99,9%. Gak hrs swab, gak hrs diambil darah. Terimakasih UGM, nuwun sanget dosen UGM, Dr Kuwat Triyana (lahir 1977) penemu GeNos pengendus Covid-199. Indonesia Bisa
....SELAMAT PAGI INDONESIA"
Namun, benarkah GeNose dapat mendeteksi COVID-19 hanya dalam waktu 10 detik?
Baca juga: 2021 akan jadi tahun pandemi hoaks vaksin
Pemakaian alat pendeteksi COVID-19 GeNose di stasiun-stasiun kereta api memang akan diterapkan pada 5 Februari 2021.
Hanya saja, alat penapisan dan diagnostik itu, seperti terdapat dalam halaman infografik ANTARA, dapat mendeteksi COVID-19 dalam waktu 80 detik.
Sementara, akurasi GeNose untuk mendeteksi COVID-19 mencapai 97 persen.
Ketua Tim Pengembang GeNose dari UGM Kuwat Triyana, dalam berita ANTARA, mengatakan setiap tes membutuhkan waktu tiga menit, termasuk pengambilan napas.
Durasi tiga menit termasuk pengambilan napas itu disampaikan Kuwat setelah GeNose mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan RI.
Kuwat menambahkan biaya tes COVID-19 dengan GeNose itu sekitar Rp15-25 ribu. Pernyataan itu senada dengan ucapan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa tes GeNose itu berbiaya Rp20 ribu, dan bahkan bisa menjadi Rp15 ribu dalam skala yang besar.
Dengan demikian, pernyataan GeNose dapat mendeteksi COVID-19 hanya dalam waktu 10 detik merupakan informasi yang kurang tepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
Unggahan pada Jumat (22/1) itu muncul sebagai balasan atas unggahan warganet lain yang juga berprofesi sebagai dokter.
Dokter itu mengaku merasakan gejala seperti COVID-19 selang dua hari setelah mendapatkan suntikan vaksin. Namun, beragam balasan langsung muncul dari warganet lain.
"Virus itu bisa jadi mahluk hidup dan benda mati berbentuk kristal yang sewaktu-waktu bisa hidup lagi," demikian narasi balasan yang disampaikan warganet di Twitter.
Namun, benarkah virus dalam vaksin yang diproduksi dengan metode inaktif seperti Sinovac dapat kembali hidup?
Baca juga: Hoaks, Dokter di Palembang tewas setelah divaksin corona
Merujuk situs Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), terdapat empat tipe vaksin COVID-19 dari aspek pengembangannya, yaitu vaksin dari sumber virus (dua model yakni inaktif/dimatikan dan live attenuated/dilemahkan), vaksin dari asam nukleat (RNA atau DNA), vaksin berbasis protein (sub-unit dan partikel mirip virus), dan viral vektor (replikasi dan nonreplikasi).
Pada halaman penjelasan tentang tipe vaksin berasal dari sumber virus, vaksin dari virus inaktif atau mati berisi virus yang materi genetiknya sudah dihancurkan dengan panas, kimiawi, atau radiasi sehingga virus itu tidak dapat menginfeksi sel dan mereplikasi diri. Namun, virus inaktif itu masih dapat memicu sebuah respon kekebalan tubuh.
Berbeda dengan virus yang dilemahkan (live attenuated), vaksin dari virus inaktif lebih aman dan stabil. Tipe vaksin dari virus inaktif itu hanya dapat menstimulasi respon yang dimediasi oleh antibodi.
Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CCDC) Gao Fu, dalam berita ANTARA, menyatakan China memilih metode pengembangan vaksin dengan tipe inaktif karena telah memulai penelitian sejak Januari.
Gao Fu menyatakan vaksin inaktif dikembangkan dengan cara membunuh partikel virus agar terbentuk sistem kekebalan tubuh tanpa ada respons yang serius, sedangkan mRNA memicu tubuh membentuk protein yang cukup sehingga tercipta sistem kekebalan yang mampu menyerang virus.
Dengan demikian, virus inaktif di vaksin Sinovac tidak dapat hidup kembali atau bahkan mereplikasi diri. Unggahan dalam Twitter itu pun merupakan kabar informasi yang menyesatkan.
GeNose 10 detik?
"...GeNose akan dipakai di stasiun, bandara, dan tempat umum mulai 5 Februari karena dapat mendeteksi COVID-19 dalam 10 detik..", demikian sebuah pesan yang viral di aplikasi percakapan WhatsApp.
Alat pendeteksi COVID-19 berbasis embusan napas itu disebut akan diterapkan di sejumlah tempat umum dengan biaya Rp5 ribu hingga Rp10 ribu untuk setiap tes, sebagaimana disebut pada awal pesan yang beredar viral.
Namun pada akhir pesan, tes dengan alat ciptaan Tim Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) itu disebut berbiaya Rp15 ribu untuk satu kali uji pada satu orang.
Berikut pesan viral yang beredar itu:
"Mulai tgl 5 Feb'21 di station dan bandara dan tempat2 umum dikenakan biaya Rp 5 rb sd 10 rb per org per 1x test.. Ge Nose C19 Indonesia ngga kalah... Merdeka!!! Luar Biasa!!!!
Tes covid jadi simpel. Mudah n murah. Rp 15 rb, 10 detik, akurasi 99,9%. Gak hrs swab, gak hrs diambil darah. Terimakasih UGM, nuwun sanget dosen UGM, Dr Kuwat Triyana (lahir 1977) penemu GeNos pengendus Covid-199. Indonesia Bisa
....SELAMAT PAGI INDONESIA"
Namun, benarkah GeNose dapat mendeteksi COVID-19 hanya dalam waktu 10 detik?
Baca juga: 2021 akan jadi tahun pandemi hoaks vaksin
Pemakaian alat pendeteksi COVID-19 GeNose di stasiun-stasiun kereta api memang akan diterapkan pada 5 Februari 2021.
Hanya saja, alat penapisan dan diagnostik itu, seperti terdapat dalam halaman infografik ANTARA, dapat mendeteksi COVID-19 dalam waktu 80 detik.
Sementara, akurasi GeNose untuk mendeteksi COVID-19 mencapai 97 persen.
Ketua Tim Pengembang GeNose dari UGM Kuwat Triyana, dalam berita ANTARA, mengatakan setiap tes membutuhkan waktu tiga menit, termasuk pengambilan napas.
Durasi tiga menit termasuk pengambilan napas itu disampaikan Kuwat setelah GeNose mendapatkan izin edar dari Kementerian Kesehatan RI.
Kuwat menambahkan biaya tes COVID-19 dengan GeNose itu sekitar Rp15-25 ribu. Pernyataan itu senada dengan ucapan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bahwa tes GeNose itu berbiaya Rp20 ribu, dan bahkan bisa menjadi Rp15 ribu dalam skala yang besar.
Dengan demikian, pernyataan GeNose dapat mendeteksi COVID-19 hanya dalam waktu 10 detik merupakan informasi yang kurang tepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021