Berdasarkan data Unicode Consortium, emoji wajah tertawa dengan air mata sukacita menjadi emoji yang paling sering digunakan dengan angka 9,9 persen.

Emoji tersebut melampaui emoji hati berwarna merah (6,6 persen) dan emoji wajah tersenyum dengan mata berbentuk hati (4,2 persen).

Organisasi nirlaba yang berbasis di Silicon Valley, yang memiliki perwakilan dari raksasa teknologi, universitas dan lembaga pemerintah, itu melakukan riset dengan tujuan untuk menyeleksi emoji baru.

"Memahami seberapa sering emoji digunakan membantu memprioritaskan kategori mana yang menjadi fokus," kata Mark Davis, presiden dan salah satu pendiri Unicode Consortium, dikutip dari situs resmi unicode, Jumat.

Sementara itu, dikutip dari laman Quartz, emoji paling populer wajah dengan air mata sukacita, yang mengalahkan 2.822 emoji lainnya, terpilih menjadi "word of the year" Kamus Oxford pada 2015, pertama kalinya dalam sejarah bahwa "kata" yang dipilih adalah sebuah pictograph.

Diperkenalkan pada 2010, emoji wajah dengan air mata sukacita biasanya digunakan untuk menekankan kelucuan, respons untuk komentar lucu atau bahkan melembutkan ucapan sarkastik.

Misalnya, untuk menggambarkan pertemuan yang tidak ada manfaatnya, pesan dikirim "wow, benar-benar pertemuan yang produktif," dengan menambahkan emoji tersebut di akhir kalimat.

Sifat berlebihan yang dimiliki emoji wajah dengan air mata sukacita adalah inti dari daya tarik emoji tersebut, menurut Monica Riordan, psikolog kognitif yang memiliki spesialisasi dalam komunikasi yang dimediasi komputer.

"Pada dasarnya Anda mencoba untuk menyandikan serangkaian isyarat emosional dan sosial yang sangat kompleks ke dalam grafik kecil dan kemudian berharap bahwa orang lain dengan tepat menafsirkan apa yang Anda coba sampaikan," ujar Riordan.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa 55 persen komunikasi manusia adalah melalui bahasa tubuh -- gerak tubuh, postur, ekspresi wajah -- dan 38 persen disampaikan oleh nada dan infleksi pembicara.

"Isyarat ini menghilang dalam pesan teks, jadi kita mengimbanginya dengan melebih-lebihkan respons kita," ujar Riordan.

"Kita cenderung menggunakan emoji ekstrem untuk meningkatkan respons. Orang-orang biasanya tidak menangis ketika tertawa," dia melanjutkan.

Lebih lanjut, Riordan mengatakan bahwa kecenderungan karakter hiperbolik juga bisa melebih-lebihkan kebenaran.

"Karena mereka (penerima pesan) tidak dapat melihat wajah kita atau mendengar nada suara kita, kita sebenarnya dapat menggunakan emoji untuk mengekspresikan emosi yang tidak kita rasakan," kata dia.

Dia menambahkan, intinya, pesan digital membatasi kemampuan kita untuk menyampaikan nuansa atau kehalusan.

Sebagian besar Emoji adalah "alat pemelihara hubungan," jelas Riordan, dan digunakan untuk mengekspresikan emosi yang kita tahu orang lain ingin kita ungkapkan.

Namun, menurut Riordan, terkadang emoji wajah dengan air mata sukacita tersebut hanyalah sinyal dari rasa kasih sayang. "Saya biasanya menggunakan emoji itu untuk tertawa walaupun tidak benar-benar tertawa di kehidupan nyata," ujar dia, misalnya saat menanggapi lelucon yang sebenarnya tidak terlalu lucu.

Tidak semua orang menyukai emoji ini, ada yang merasa emoji tersebut mengejek dan kejam. Riordan mengingatkan bahwa emoji tidak memiliki makna yang pasti. Misalnya, emoji unicorn yang digunakan secara luas sebagai avatar juga telah digunakan untuk memberi sinyal kejadian langka.
 

Pewarta: Arindra Meodia

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020