Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) memperkirakan krisis COVID-19 dapat memusnahkan 6,7 persen jam kerja secara global dalam kuartal kedua tahun 2020, atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu.
Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder, dalam konferensi video yang digelar secara daring pada Selasa malam waktu Jakarta, menyebutkan dari pihaknya telah menerapkan metodologi kompleks guna menghitung dampak dari pandemi COVID-19, termasuk upaya-upaya yang harus diambil untuk menghentikan penyebarannya, terhadap dunia pekerjaan.
“Saya rasa angka-angka ini dapat menunjukkan bahwa dunia pekerjaan tengah menghadapi kesulitan yang sangat besar akibat pandemi ini,” kata Ryder.
Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa pengurangan besar terjadi di beberapa area, termasuk di negara-negara Arab dengan 8,1 persen atau setara dengan lima juta pekerja penuh waktu, Eropa dengan 7,8 persen atau setara dengan 12 juta pekerja penuh waktu, dan kawasan Asia dan Pasifik dengan 7,2 persen atau 125 juta pekerja penuh waktu.
Adapun sektor-sektor yang disebut paling terdampak, menurut laporan agensi PBB untuk buruh, adalah makanan dan akomodasi, aktivitas ritel dan penjualan grosir, kegiatan bisnis dan administratif, serta industri manufaktur.
“Apabila kita ambil jumlah agregat untuk pekerjaan di sektor-sektor tersebut, jumlahnya menjadi 37,5 persen dari pekerjaan global. Jadi ini dapat dikatakan sebagai ‘ujung tajam’ dari dampak pandemi yang dirasakan,” kata dia.
Terkait apa yang dapat dilakukan dalam merespon dampak yang dialami oleh dunia pekerjaan di dunia, Ryder mengatakan bahwa dampak jangka panjang dari apa yang terjadi saat ini sangat bergantung pada langkah komunitas internasional untuk mengecek penyebaran COVID-19, berapa lama penyebaran berlangsung dan sejauh apa virus akan menyebar.
Meski tidak ada kepastian yang bisa didapatkan dari faktor-faktor terkait virus tersebut, dia menegaskan pentingnya intervensi kebijakan dalam upaya untuk menstimulasi aktivitas ekonomi melalui kebijakan fiskal, serta kebijakan keuangan yang mengakomodasi bisnis-bisnis. Kebijakan untuk menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi dari pandemi ini juga menjadi salah satu hal yang digarisbawahi.
“Sangat jelas bahwa kita membutuhkan langkah-langkah tersebut dan kita sudah melihat (intervensi kebijakan) ini dilakukan di berbagai belahan dunia,” lanjutnya.
Meski demikian, dia mengatakan perlu lebih banyak intervensi khusus oleh pemerintah di dunia untuk mendukung bisnis-bisnis agar mereka dapat bertahan di tengah krisis, dan pada akhirnya dapat mempertahankan para pekerja mereka dan hubungan kerja dengan perusahaan.
“Langkah ini penting guna memastikan mereka tidak hanya bertahan namun juga bangkit dari krisis ini,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020