"Pak Made sudah kebagian? Terus Pak Wayan gimana?" kata Ustaz Ja'far Shodiq, pengasuh Pesantren Assiddiqiyah, Kabupaten Jembrana, Bali.
Ja'far yang memimpin penyembelihan hewan kurban pada Idul Adha 1431 yang jatuh pada 17 November 2010 lalu itu hanya ingin memastikan bahwa tidak ada satupun warga nonmuslim di daerahnya yang tidak kebagian daging-daging tersebut.
Saat itu ada 10 umat Hindu berbaur dengan umat Muslim ikut memotong-motong daging sapi yang disembelih. Andai tidak menggunakan udeng (penutup kepala), orang mungkin tidak akan mengetahui bahwa dalam kegiatan umat Islam itu ada keterlibatan umat lain.
Maklum saat itu, ke-10 umat Hindu mengenakan pakaian adat madya, yakni sarung dan baju bebas. Untuk sarung umat Islam juga biasa mengenakan pakaian pengganti celana panjang tersebut.
Semantara Wayan Damrita, dari Dinas Pendidikan Jembrana yang saat itu juga datang justru mengenakan kopiah haji warna hitam. Yang memastikan bahwa dia beragama Hindu adalah gelang dari benang berwarna hitam putih di lengannya.
Kebersamaan juga ditunjukkan setelah pembagian daging usai. Mereka kemudian makan bersama di depan musala pesantren dengan jumlah satri sekitar 200 orang tersebut.
Pesantren Assiddiqiyah di Kelurahan Dauh Waru, Kecamatan Jembrana, bukanlah pesantren besar dan tentu tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas, seperti Gontor di Ponorogo, Jatim.
Lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Ja'far Shodiq ini hanya mendidik anak-anak kecil, mulai kelompok bermain, taman kanak-kanak dan taman pendidikan Al-Quran.
Namun, di balik kecilnya jumlah santri, pesantren itu mengabarkan sesuatu yang indah tentang toleransi di negeri ini yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan wajah memiriskan. Atas nama Tuhan, orang membunuh sesama, bahkan masih satu agama.
Pesantren Assiddiqiyah yang didirikan tahun 1999 ini memang berupaya untuk membangun persaudaraan dengan umat lainnya di Bali. Selain untuk menunjukkan bahwa Islam bukan agama kekerasan, dirinya juga ingin mengamalkan ajaran Islam sebagai "rahmatan lil'alamin" atau rahmat bagi seluruh alam.
"Umat nonmuslim kami anggap sebagai saudara dan mereka menganggap umat Islam juga sebagai saudara. Ini ajaran Islam. Bukankah Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam juga," katanya.
Karena itu, pada setiap acara-acara kegiatan umat Hindu, pihaknya selalu melibatkan diri untuk ikut membantu. Karena itu tidak heran jika umat Hindu, termasuk generasi mudanya dengan ringan tangan membantu acara-acara umat Islam.
Bahkan, pesantren tersebut dikelola tidak hanya oleh orang Islam, melainkan juga melibatkan umat Hindu.
Salah seorang pengurus di pesantren itu adalah Nengah Santra, umat Hindu yang juga merangkap Ketua RT IX di lingkungan Dauh Waru. Nengah Santra yang pernah bertugas di departemen penerangan di Timor Timur itu menjadi pengurus bagian perlengkapan.
Mengapa Nengah Santra bersedia menjadi pengurus di pesantren, meskipun ia bukan pemeluk Islam? Itu tidak lain karena ia ingin menunjukkan keseriusannya dalam menjalin persaudaran berbeda keyakinan.
Dia juga ingin menunjukkan kepada generasi muda dan masyarakat luas bahwa kebersamaan itu indah. "Makanya kami juga melibatkan anak-anak muda Hindu dalam kegiatan-kegiatan umat Islam di pesantren ini. Di sini tidak pernah ada perselisihan mengenai agama," katanya.
Suyadi, ketua yayasan di Pesantren Assiddiqiyah menggambarkan kebersamaan di pesantren tersebut dengan masyarakat sekitar yang kebanyakan beragama Hindu sebagai hubungan antara Made Rai dengan Mad Ra'i.
"Nama itu kan sama, cuma beda sedikit," katanya tesenyum.
Made Rai mewakili orang Bali yang beragama Hindu, sedangkan Mad Ra'i adalah representasi kaum Muslim.
Mengapresiasi kebersamaan di pesantren itu, Bupati Jembrana I Putu Artha mengemukakan bahwa wilayahnya bisa dikatakan merupakan miniatur Indonesia karena warga dari berbagai suku dan agama hidup dengan rukun.
"Saya sendiri waktu kecil biasa main di langgar atau musala dan bermain dengan teman-teman Muslim. Saya sekolah di sekolah Kristen," katanya.
Ia juga mengungkapkan sejumlah wilayah di Jembrana yang warga Muslim dengan Hindu hidup rukun. Bahkan ada wilayah yang kepala desanya dipilih secara bergantian antara Hindu dengan Islam.
Tidak hanya di Jembrana. Bali yang dikenal sebagai tujuan wisata internasional sebetulnya memiliki banyak contoh bagaimana kehidupan beragama terjalin indah. Melihat hal itu, masih ada banyak harapan untuk melihat kembali Indonesia ideal yang dibangun di atas fondasi berbeda namun tetap satu ini.
Salah satu contohnya aktivitas yang diprakarsai oleh salah satu tokoh Puri Gerenceng Pemecutan, Denpasar, Anak Agung Ngurah Agung. Ia selalu mengundang ribuan umat Muslim ke puri atau keratonnya jika ada kegiatan keagamaan Hindu. Demikian juga ketika umat Islam merayakan Idul Fitri, ia juga menggelar halalbihalal di puri.
Demi menghormati umat Islam yang tidak boleh memakan daging babi, Gung Ngurah, demikian ia biasa dipanggil, selalu mengundang pedagang makanan Muslim dalam acara-acara di purinya yang melibatkan umat Islam.
"Biar saudara-saudara yang Muslim tidak ragu kalau mau makan," kata pengagum dan pengikut KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur ini.
Ketua Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PHMB) ini bahkan tidak jarang menjadi tumpuan curahan hati umat Islam yang menghadapi berbagai persoalan di Bali, termasuk dalam hal pendirian tempat ibadah.
Gung Ngurah dan Putu Artha berharap agar ke depan, suasana persaudaraan itu terus dipupuk oleh semua masyarakat agar Indonesia tidak selalu diwarnai dengan pertikaian.
Harapan itu cukup beralasan karena setiap kebaikan harus selalu diupayakan dan dijaga. Kebersamaan yang telah dijalin masyarakat di Bali dan mungkin di daerah lain tidak boleh diserahkan berjalan pada kehendak sejarah yang apa adanya. Kebersamaan harus selalu dipupuk di atas rasa saling percaya dan memberi kebaikan kepada sesama sebagai inti ajaran semua agama.
Karena itu, Ustaz Ja'far Shodiq juga berharap agar umat Islam di wilayah yang mayoritas Muslim agar mencontoh pada sikap orang Hindu Bali terhadap umat Islam.
"Saudara-saudara kita yang Hindu dan nonmuslim lainnya di luar Bali harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan umat Hindu di tempat saya ini terhadap kami umat Islam," katanya.//Masuki M Astro// (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
Ja'far yang memimpin penyembelihan hewan kurban pada Idul Adha 1431 yang jatuh pada 17 November 2010 lalu itu hanya ingin memastikan bahwa tidak ada satupun warga nonmuslim di daerahnya yang tidak kebagian daging-daging tersebut.
Saat itu ada 10 umat Hindu berbaur dengan umat Muslim ikut memotong-motong daging sapi yang disembelih. Andai tidak menggunakan udeng (penutup kepala), orang mungkin tidak akan mengetahui bahwa dalam kegiatan umat Islam itu ada keterlibatan umat lain.
Maklum saat itu, ke-10 umat Hindu mengenakan pakaian adat madya, yakni sarung dan baju bebas. Untuk sarung umat Islam juga biasa mengenakan pakaian pengganti celana panjang tersebut.
Semantara Wayan Damrita, dari Dinas Pendidikan Jembrana yang saat itu juga datang justru mengenakan kopiah haji warna hitam. Yang memastikan bahwa dia beragama Hindu adalah gelang dari benang berwarna hitam putih di lengannya.
Kebersamaan juga ditunjukkan setelah pembagian daging usai. Mereka kemudian makan bersama di depan musala pesantren dengan jumlah satri sekitar 200 orang tersebut.
Pesantren Assiddiqiyah di Kelurahan Dauh Waru, Kecamatan Jembrana, bukanlah pesantren besar dan tentu tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas, seperti Gontor di Ponorogo, Jatim.
Lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Ja'far Shodiq ini hanya mendidik anak-anak kecil, mulai kelompok bermain, taman kanak-kanak dan taman pendidikan Al-Quran.
Namun, di balik kecilnya jumlah santri, pesantren itu mengabarkan sesuatu yang indah tentang toleransi di negeri ini yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan wajah memiriskan. Atas nama Tuhan, orang membunuh sesama, bahkan masih satu agama.
Pesantren Assiddiqiyah yang didirikan tahun 1999 ini memang berupaya untuk membangun persaudaraan dengan umat lainnya di Bali. Selain untuk menunjukkan bahwa Islam bukan agama kekerasan, dirinya juga ingin mengamalkan ajaran Islam sebagai "rahmatan lil'alamin" atau rahmat bagi seluruh alam.
"Umat nonmuslim kami anggap sebagai saudara dan mereka menganggap umat Islam juga sebagai saudara. Ini ajaran Islam. Bukankah Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam juga," katanya.
Karena itu, pada setiap acara-acara kegiatan umat Hindu, pihaknya selalu melibatkan diri untuk ikut membantu. Karena itu tidak heran jika umat Hindu, termasuk generasi mudanya dengan ringan tangan membantu acara-acara umat Islam.
Bahkan, pesantren tersebut dikelola tidak hanya oleh orang Islam, melainkan juga melibatkan umat Hindu.
Salah seorang pengurus di pesantren itu adalah Nengah Santra, umat Hindu yang juga merangkap Ketua RT IX di lingkungan Dauh Waru. Nengah Santra yang pernah bertugas di departemen penerangan di Timor Timur itu menjadi pengurus bagian perlengkapan.
Mengapa Nengah Santra bersedia menjadi pengurus di pesantren, meskipun ia bukan pemeluk Islam? Itu tidak lain karena ia ingin menunjukkan keseriusannya dalam menjalin persaudaran berbeda keyakinan.
Dia juga ingin menunjukkan kepada generasi muda dan masyarakat luas bahwa kebersamaan itu indah. "Makanya kami juga melibatkan anak-anak muda Hindu dalam kegiatan-kegiatan umat Islam di pesantren ini. Di sini tidak pernah ada perselisihan mengenai agama," katanya.
Suyadi, ketua yayasan di Pesantren Assiddiqiyah menggambarkan kebersamaan di pesantren tersebut dengan masyarakat sekitar yang kebanyakan beragama Hindu sebagai hubungan antara Made Rai dengan Mad Ra'i.
"Nama itu kan sama, cuma beda sedikit," katanya tesenyum.
Made Rai mewakili orang Bali yang beragama Hindu, sedangkan Mad Ra'i adalah representasi kaum Muslim.
Mengapresiasi kebersamaan di pesantren itu, Bupati Jembrana I Putu Artha mengemukakan bahwa wilayahnya bisa dikatakan merupakan miniatur Indonesia karena warga dari berbagai suku dan agama hidup dengan rukun.
"Saya sendiri waktu kecil biasa main di langgar atau musala dan bermain dengan teman-teman Muslim. Saya sekolah di sekolah Kristen," katanya.
Ia juga mengungkapkan sejumlah wilayah di Jembrana yang warga Muslim dengan Hindu hidup rukun. Bahkan ada wilayah yang kepala desanya dipilih secara bergantian antara Hindu dengan Islam.
Tidak hanya di Jembrana. Bali yang dikenal sebagai tujuan wisata internasional sebetulnya memiliki banyak contoh bagaimana kehidupan beragama terjalin indah. Melihat hal itu, masih ada banyak harapan untuk melihat kembali Indonesia ideal yang dibangun di atas fondasi berbeda namun tetap satu ini.
Salah satu contohnya aktivitas yang diprakarsai oleh salah satu tokoh Puri Gerenceng Pemecutan, Denpasar, Anak Agung Ngurah Agung. Ia selalu mengundang ribuan umat Muslim ke puri atau keratonnya jika ada kegiatan keagamaan Hindu. Demikian juga ketika umat Islam merayakan Idul Fitri, ia juga menggelar halalbihalal di puri.
Demi menghormati umat Islam yang tidak boleh memakan daging babi, Gung Ngurah, demikian ia biasa dipanggil, selalu mengundang pedagang makanan Muslim dalam acara-acara di purinya yang melibatkan umat Islam.
"Biar saudara-saudara yang Muslim tidak ragu kalau mau makan," kata pengagum dan pengikut KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur ini.
Ketua Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PHMB) ini bahkan tidak jarang menjadi tumpuan curahan hati umat Islam yang menghadapi berbagai persoalan di Bali, termasuk dalam hal pendirian tempat ibadah.
Gung Ngurah dan Putu Artha berharap agar ke depan, suasana persaudaraan itu terus dipupuk oleh semua masyarakat agar Indonesia tidak selalu diwarnai dengan pertikaian.
Harapan itu cukup beralasan karena setiap kebaikan harus selalu diupayakan dan dijaga. Kebersamaan yang telah dijalin masyarakat di Bali dan mungkin di daerah lain tidak boleh diserahkan berjalan pada kehendak sejarah yang apa adanya. Kebersamaan harus selalu dipupuk di atas rasa saling percaya dan memberi kebaikan kepada sesama sebagai inti ajaran semua agama.
Karena itu, Ustaz Ja'far Shodiq juga berharap agar umat Islam di wilayah yang mayoritas Muslim agar mencontoh pada sikap orang Hindu Bali terhadap umat Islam.
"Saudara-saudara kita yang Hindu dan nonmuslim lainnya di luar Bali harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan umat Hindu di tempat saya ini terhadap kami umat Islam," katanya.//Masuki M Astro// (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011