Denpasar (Antaranews Bali) - Pemkot Denpasar terus berupaya mengkampanyekan "ogoh-ogoh" atau boneka raksasa yang bebas dari styrofoam serta penggunaan alat pengeras suara (sound system) saat mengarak "ogoh-ogoh" pada malam "pangerupukan" Nyepi.

Wali Kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra turut menggandeng seniman, sekaa teruna teruni (STT), serta komunitas untuk tidak menggunakan pengeras suara saat pengarakan "ogoh-ogoh" dan penggunaan berbahan styrofoam sebagai bahan boneka raksasa (ogoh-ogoh).

Hadir pula dalam kesempatan tersebut perancang (undagi) "ogoh-ogoh" terkenal asal Tampaksiring yang akrab disapa Gusman, yang juga undagi layang-layang Kota Denpasar, dan seniman tua ogoh-ogoh di Kota Denpasar.

Dalam kesempatan tersebut Rai Mantra menekankan bahwa keberadaan "soundsystem dan stayrofoam" sebagai sesuatu yang tak asing dalam pembuatan "ogoh-ogoh" masih banyak dipandang sebagai aplikasi dari modernisasi.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa modern itu bukan hanya bagaimana kita menggunakan bahan dan instrumen baru, melainkan bagaimana kita memandang sesuatu hal dalam sudut pandang modern.

"Ini bukan tentang bagaimana modern atau tidak modern, melainkan ikut serta dalam memberikan edukasi dan penyadaran bahwa penggunaan soundsystem dan stayrofoam tidaklah tepat dalam menyambut hari suci Nyepi, dan kami menggandeng semua pihak termasuk para seniman dan undagi agar ikut memberikan pemahaman," katanya.

Rai Mantra menjelaskan bahwa Nyepi merupakan sebuah hari suci umat Hindu, sehingga hendaknya kita sebagai umat beragam tentunya wajib menghormati hari suci sebagai simbol "sradha dan bhakti" umat manusia.

Di samping itu, keberadaan hari suci sangat berkaitan erat dengan kebudayaan yang salah satunya adalah seni.

"Memang agama hindu sangat berkaitan dengan budaya, dan keduanya saling mendukung satu sama lainya, inilah yang nantinya yang dikenal dengan taksu," ujarnya.

Rai Mantra menambahkan bahwa dengan adanya penggunaan intrsumen tradisional seperti Baleganjur, Tektekan, serta instrumen tradisional lainya akan memberikan ruang bagi generasi selanjutnya untuk memahami seni murni yang merupakan warisan leluhur kita.

"Generasi muda harus mengerti dan paham dengan seni dan budaya asli sesuai dengan pakemnya, inilah yang kami khawatirkan ketika nanti penggunaan soundsystem menjadi budaya baru yang justru mengaburkan budaya asli," ucapnya.

Sementara itu, seniman "ogoh-ogoh" asal Banjar Tainsiat yang terkenal dengan karyanya yang fenomenal, I Komang Gde Sentana Putra yang akrab "Kedux" ini sependapat dengan seluruh undagi dan seniman yang menolak penggunaan "sound system dan stayrofoam". Dimana, dengan menbumikan budaya ngulat dan mabelaganjuran tentu semangat gotong royong dapat tercipta. Sehingga rasa menyamabraya antar pemuda dapat dipererat.

"Selin karya seni dan kreatifitas menyambut hari suci Nyepi, rasa menyama brayayang sudah diwarisakan leluhur juga harus tetap kita jaga bersama," jelas pria yang juga pemilik dari "master peace Kedux Garage".

Hal senada juga disampaikan seniman "ogoh-ogoh" asal Banjar Gemeh, Putu Marmar Herayukti mengataan bahwa pihaknya sangat tidak setuju jika ogoh-ogoh dibuat menggunakan styrofoam dan diarak diiringi soundsystem. Hal ini semata-mata karea keduanya bukan merupakan kebuadayaan Bali. "Kami konsisten menolak itu karena dirasa kurang tepat," ujar Marmar.(*)

Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019