Nusa Dua (Antaranews Bali) - Wakil Ketua Building Resources Across Communities (BRAC) Banglades Ahmed Mushtaque Chowdury mengatakan tingkat pendidikan anak perempuan di dunia masih lebih rendah dibanding dengan anak laki-laki.
    
"Berdasarkan hasil penelitian, bahwa permasalahan anak, terutama anak perempuan dalam bidang pendidikan masih rendah. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, antara lain kemiskinan," kata Ahmed Mushtaque di sela acara "Konferensi Internasional Perlindungan Anak" di Nusa Dua, Bali, Jumat.
    
Ia mengatakan dari pengamatan dan hasil penelitian bahwa masalah anak perempuan adalah terjadinya pernikahan dini. Hal itu terjadi cukup banyak, salah satunya di negara Banglades. Penyebab dari tingginya tingkat pernikahan pada anak perempuan di negara tersebut disebabkan oleh faktor pendidikan masih rendah.
    
"Selain itu juga karena tingkat pengetahuan dari orang tua mereka sendiri. Sebab rendahnya pendidikan masyarakat dalam kehidupannya, maka ada dorongan untuk segera menikahkan anaknya. Dengan tindakan itu, maka akan melepaskan tanggung jawab dalam hak asuhnya," ujar dia.
    
Di tanya terkait permasalahan terhadap anak Indonesia, kata Ahmed Mustaque, berdasarkan pengamatannya cukup banyak juga terjadi pernikahan dini.
    
"Iya, hampir sama juga alasan yang dikemukan oleh orang tua di negara Banglades, dimana dengan menikahkan anaknya akan mengurangi beban keluarga. Dengan harapan mereka bisa mandiri bersama pasangannya," ucapnya.
    
Dengan kenyataan itu, kata dia, sebenarnya jika meningkat pernikahan dini yang dilakukan anak tersebut maka menjadi beban suatu negara. Sebab sumber daya manusia yang dimiliki akan menjadi rendah, sehingga kemiskinan suatu negara pun akan dikhawatikan akan bertambah.
    
"Oleh karena itu, semua negara yang mengalami permasalahan anak didorong meningkatkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, sehingga dengan demikian pengetahuan yang dimiliki menjadi sumber utama meningkatkan negara tersebut," katanya.
    
Sementara pada acara penutupan konferensi tersebut  Co-Director dari CPC Learning Network, Mark Canavera  mengatakan konferensi "Viable and Operable Ideas for Child Equality (VOICE)" telah menunjukkan bahwa para peneliti dan pembuat kebijakan Indonesia berada di ujung tombak dalam mencari cara terbaik untuk memberdayakan dan mendukung anak-anak dalam menghadapi beberapa tantangan besar dunia seperti migrasi massal, perubahan iklim, dan perubahan teknologi yang cepat.
    
"Saya berharap negara-negara lain memperhatikan apa yang telah kami pelajari di sini. Indonesia akan terus menjadi mercusuar pembelajaran untuk memperkuat keluarga di seluruh dunia," ucapnya.
    
Sedangkan Direktur Puskapa Santi Kusumaningrum dalam sambutan penutupnya mengisahkan pengetahuan, keterampilan, dan kebijaksanaan yang diperolehnya melalui bimbingan oleh Ibu Purnianti, profesor Kriminologi Universitas Indonesia.
    
"Saya selalu dibimbing oleh Ibu Purnianti untuk melihat gambaran yang lebih besar dan selalu melakukan yang terbaik, bagaimana menavigasi kerumitan, dan pentingnya membangun hubungan. Sehingga organisasi Puskapa dan timnya untuk tumbuh serta menjadi salah satu organisasi perlindungan dan penelitian perlindungan anak yang semakin dihormati dan dikenal di Asia Tenggara," ucapnya.
    
Santi berharap konferensi VOICE yang dihadiri sekitar 250 peserta dari 26 negara berhasil menyediakan platform untuk berkomunikasi, membangun jaringan, menciptakan kolaborasi baru, dan berusaha untuk menjadi berguna bersama.
     
Konferensi ini terselenggara berkat dukungan dari UNICEF Indonesia, The Learning Initiatives on Norms, Exploitation, and Explanation (LINEA), Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (Kompak), The Asia Foundation, The Institute for Reproductive Health at Georgetown University, dan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).

Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018