Palembang, (Antaranews Bali) - Penyakit gugur daun (fusicoccum) memapar puluhan ribu hektare lahan karet di Tanah Air yang tersebar di tujuh provinsi sehingga saat ini menjadi ancaman luar biasa bagi kelangsungan pertanian karet Indonesia.

Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor Gede Wibawa di Palembang, Selasa, mengatakan, jika tidak diatasi dengan cepat maka bisa jadi Indonesia akan mengalami kejadian seperti Brasil yang hingga kini tidak bisa lagi menanam karet karena terkena penyakit "gugur daun Amerika Selatan" pada tahun 1998.

"Sampai saat ini Brasil tidak bisa menanam karet lagi, bayangkan sendiri bagaimana dahsyatnya penyakit ini bagi tanaman karet," kata Gede Wibawa yang diwawancarai di sela-sela pertemuan 14 negara produsen karet terkait upaya mencari solusi mengatasi penyakit gugur daun ini di Hotel Aryaduta, Palembang, Selasa.

Menurut dia penyakit gugur daun ini terdeteksi pertama kali di perkebunan karet di Sumatera Utara pada 2016 yang diperkirakan karena adanya pembelian bibit. Kemudian penyakit ini cepat menyebar ke kantong-kantong perkebunan karet terutama di Sumatera.

Akibatnya, pada 2018, Gede memastikan bahwa penyakit gugur daun ini sudah tersebar di perkebunan enam provinsi lainnya, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Faktor iklim, dan lemahnya daya tahan tanaman karet Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.

Hal ini cukup dimaklumi karena pada periode 2016, para petani masih dihadapkan persoalan rendahnya harga getah sehingga tidak melakukan pemupukan secara optimal, selain itu pada 2015 terjadi kejadian kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat sehingga juga mempengaruhi proses fotosintesis tanaman.

"Gugur daun ini disebabkan oleh sejenis cendawan yang menghasilkan racun. Penyebarannya melalui udara, sehingga ketika menyerang satu daun maka akan menyerang daun lainnya, dan ujung-ujungnya satu hamparan," kata dia.

Bahkan lahan milik Pusat Penelitian Karet di Sumbawa, Kabupaten Banyuasin pun tidak luput dari serangan penyakit gugur daun ini yakni memapar lahan produktif seluas 905 hektare dari total 1500 hektare lahan yang tersedia.

Saat ini tim peneliti sedang mendata luasan lahan yang terpapar karena sejauh ini baru menerima data dari perusahan-perusahaan perkebunan. "Data kasar yang kami miliki dari laporan dari perusahan-perusahaan perkebunan per Februari 2018 di tujuh provinsi diketahui sudah memapar 22.000 hektare. Saya pastikan pasti lebih banyak lagi, karena perkebunan rakyat juga sudah terkena," kata dia.

Akibat dari penyakit tanaman ini, produksi getah karet Indonesia dipastikan mengalami penurunan 40-50 persen pada tahun ini. Sebagai gambaran, lahan seluas 905 hektare di Sumbawa hanya menghasilkan 90 ton setiap panen dari seharusnya 180 ton. Padahal pada Juli-Agustus ini menjadi puncak panen getah karena memasuki puncak musim kemarau, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Sejauh ini, para peneliti telah menemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini yakni dengan menyemprotkan cairan pembasmi dengan cara fogging. Melalui cara ini, tanaman akan terpulihkan kembali dalam masa tiga bulan.

Namun, solusi ini juga dalam dilema karena saat ini harga karet sedang jatuh yakni Rp7.000 per kilogram sehingga akan semakin memberatkan petani. Untuk 1 hektare lahan dibutuhkan biaya Rp180 ribu untuk satu kali fogging menggunakan cairan hexsagonal, sementaranya idealnya untuk pemulihan dibutuhkan tiga kali fogging.

"Nanti daunnya akan tumbuh lagi. Tapi meski difogging tetap saja masih dalam ancaman, seperti yang dialami Malaysia saat ini. Akan tetapi, yang terpenting bagi kami peneliti di seluruh dunia yakni bagaimana caranya bisa melahirkan jenis klon (bibit) yang unggul dari penyakit daun," kata dia.

Sementara itu, Peneliti di Pusat Penelitian Karet Sumbawa Tri Rapani Febbiyanti mengatakan kejadian penyebaran penyakit gugur daun di perkebunan karet di Indonesia ini terbilang sangat mengkhawatirkan karena terjadi secara "outbreak" atau menjangkit hingga puluhan ribu hektare. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia yang juga sempat terkena tapi tidak dalam satu hamparan luas.

"Itulah kami mengumpulkan negara-negara produksen karet di dunia untuk mengatasi masalah ini. Kami ingin mengetahui bagaimana Malaysia mengatasinya, karena mereka bisa tidak outbreak, meski saat ini masih statusnya ancaman. Kami juga ingin mendengar solusi dari dokter asal Pantai Gading yang menemukan pertama kali penyakit ini," kata dia.

Puluhan ilmuan dari 14 negara berkumpul di Palembang, 31 Juli-1 Agustus 2018 dalam kegiatan International Plant Protection Workshop, di antaranya dari China, Jepang, Brasil, Pantai Gading, Malaysia, Filiphina, dan Thailand.

Pertemuan yang diselenggarakan Pusat Penelitian Karet Indonesia dan International Rubber Development Board (IRRDB) berharap menemukan melahirkan solusi efektif atas persoalan ini. Hal ini mengingat klon karet yang tahan terhadap penyakit gugur daun "RRIC 100" ternyata juga tidak tahan. Kondisi ini membuat petani karet Indonesia dalam posisi sudah jatuh tertimpa tangga pula. (WDY)

Pewarta: Dolly Rosana

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018