Denpasar (Antaranews Bali) - Keluarga korban sengketa lahan tanah Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona), di Banjar Tarukan Kaja, Desa Pejeng Kaja, Kabupaten Gianyar, mendatangi markas Kepolisian Daerah Bali.

"Hari ini (18/7), kami mendatangi Polda Bali yang diterima dengan baik oleh bapak Wakpolda Bali, Brigjen Pol I Wayan Sunarta terkait kasus sengketa prona untuk meminta kepastian hukum," ujar salah satu Keluarga Korban, I Dewa Putu Sudarsana di Mapolda Bali, Rabu.

Ia mengatakan, sengketa lahan tanah seluas 20 are yang menimpa korban atau pelapor I Dewa Nyoman Oka itu, telah disampaikan ke Polda Bali melalui surat laporan yang ditujukan kepada terlapor I Dewa Ketut Oka Merta bersama Dewa Nyoman Ngurah Swastika, termasuk keluhan dinas dan kepala desa setempat, karena menghilangkan hak keluarga korban.

"Kami baru mengetahui bahwa tanah yang ditempati sudah disertifikatkan tetangga atau terlapor sejak setahun lalu dan saat pembayaran pajak sudah tidak bisa dilakukan, karena telah dikuasai orang lain," ujarnya.

Kedatangan keluarga korban yang berjumlah tujuh orang ke Polda Bali itu, menyampaikan bahwa korban yang juga penyandang disabilitas ini telah menempati tanah dengan berisi bangunan ibadah (bangunan suci keluarga, balai dangin dan balai daja) yang ingin dipertahankan pihak keluarga sejak puluhan tahun silam.

Sengketa lahan ini terjadi karena, hilangnya hak keluarga korban akibat kesalahan permohonan atau terlapor, dimana sporadiknya dipalsukan terlapor yang seolah-olah tetangganya menempati tanah itu. Namun, faktanya tidak pernah menempati tanah yang dimiliki korban saat ini.

"Akibat hal ini, kami selaku keluarga korban mengalami kerugian materi mencapai Rp4 miliar, karena ada tempat ibadah dan rumah. Bukan hanya itu, kami mempertahankan ini karena secara niskala ada leluhur (tempat ibadah keluarga) di pekarangan tanah ini disitu," katanya.

Pihaknya mengkhawatirkan, jika terlapor melakukan pengusiran kepada pelapor (korban) ini akan terjadi pertumpahan darah dan sebelumnya pihak keluarga juga telah membuat surat laporan pada 24 November 2017, namun belum ada tindak lanjut, sehingga saat ini kembali mendatangi Polda Bali terkait hal ini.

Ia mengharapkan, agar aparat yang berwenang seperti aparatur desa agar berhati-hati saat seseorang memohon sertifikat agar tidak mengambil hak orang lain. Ketentuan ini telah ada pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang peralihan hak pendaftar lama itu, harus berdasarkan tertulis (adanya pipil) dan penguasaan fisik dengan etikad baik.

"Memang terlapor ini juga mengajukan permohonan sertifikat dengan iktikad baik dan penguasaan fisik, namun faktanya terlapor tidak pernah menempati lahan tanah sengketa dan tidak pernah tinggal ditempat itu. Ini menjadi bukti dari laporan kami," katanya.

Ia menilai, program pemerintah pusat terkait Prona ini sangat bagus, karena seseorang yang telah menempati tanah itu hingga 20 tahun boleh mengajukan permohonan bahwa telah menempati tanah itu. Namun, ironisnya korban justru kehilangan tanah yang dimilikinya, tapi justru korban tidak mendapatkan pelayanan dari aparat desa. (ed)

Pewarta: I Made Surya Wirantara Putra

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018