Gianyar, (Antaranews Bali) - Seorang ibu tengah asyik mengaduk-aduk daging sapi dengan santan berempah di atas penggorengan besar, sambil sekali-kali mengusap keringatnya dan mencicipi masakannya untuk mengetahui kelezatan masakan rendangnya.
 
"Saya harus terus mengaduk-aduk santan dan daging sapi agar meresap dengan baik dan merata selama tiga hingga empat jam agar rendangnya ranca bana," kata Evi Rosmawati, salah seorang ibu asal Bukit Tinggi, dari 300 peserta Festival Rendang di GOR Agus Salim, Padang, terkait dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Kota Padang, Sumatera Barat.

Bau sedap rendang merebak kuat di gelanggang olahraga tersebut membuat ngiler dan napsu makan siapapun yang hadir di sana. "Festival Rendang ini agenda tahunan. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan di tepi pantai, kali ini di GOR Agus Salim menyambut para peserta HPN 2018.

Dalam HPN di provinsi asal masakan rendang ini, bukan saja ibu-ibu sibuk "merendang" daging sapi dan santan menjadi sajian menyedapkan, tetapi juga Presiden Jokowi, para menteri, tokoh masyarakat, pemimpin redaksi media massa, insan pers sibuk "merendang" berita dan hoaks yang menjadi tantangan saat ini.

"Kemajuan teknologi informasi dan media sosial telah mendorong dan membantu kemajuan media massa, tapi di sisi lain ada juga dampak negatifnya, yakni banyak beredar hoaks atau kabar bohong karena siapapun bisa melakukan dengan gadget yang dimiliki," kata Margiono, Ketua PWI Pusat.

Ini membahayakan publik yang terbangun opininya berdasarkan hoaks. Di sinilah tantangan insan pers saat ini bagaimana mengalahkan dan mengatasi hoaks, tambah ketua PWI yang segera mengakhiri tugasnya itu.

Maraknya hoaks terutama di media sosial telah menyebabkan para insan pers dan pejabat negara merasa khawatir dan peduli terhadap perkembangan ini. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah melahirkan perusahaan-perusahaan penyedia jasa hoaks.

"Hoaks telah menjadi suatu peluang bisnis di tengah lemahnya penegakan hukum, plus pilkada serentak hampir setiap tahun di Indonesia menjadi momentum menjual dan memproduksi hoaks. Hoaks dimanfaatkan untuk membangun citra positif tapi seringkali menjadi alat kampanye hitam yang menjelek-jelekan para kandidat," kata Standarkia Latief, mantan ketua KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).

Hoaks dan Media Sosial 

Pada saat HPN 2017 di Padang, Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian (IKP) Komunikasi dan Informatika RI Rosarita Niken Widiastuti mengatakan 92,60 persen sumber hoaks berasal dari media sosial.

Bentuk saluran hoaks adalah tulisan sebanyak 62 persen, gambar 37,50 persen dan video 0,40 persen. Sumber hoaks dari radio 1,2 persen, email 3,10 persen, media cetak 5 persen, televisi 8,70 persen, situs website 34,90 persen, dan lainnya.

Niken merinci lebih jauh produksi media sosial. "Dalam satu menit terdapat 168 juta email yang beredar, 695.000 status facebook, serta 98.000 cuitan twitter. Itu semua merupakan kegiatan informasi yang beredar dan tersebar dari orang ke orang dari grup ke grup dan lainnya," tambah dia.

Dirjen IKP Niken mengungkapkan setiap orang terkoneksi dengan gadget atau media sosial hampir sembilan jam dalam sehari, jadi aktivitas utama sedangkan yang lain dilakukan di sela-sela melihat gadget.

Repotnya saat ini, generasi muda dan masyarakat umumnya lebih suka membaca berita dari media sosial. Hal itu terlihat dari makin banyak media massa cetak yang gulung tikar. Di sisi lain, pendapatan iklan di media online (digital) makin meningkat.

"Di media sosial kebebasan pers dimanfaatkan orang untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga seolah-olah kebebasan pers adalah bebas-sebebasnya tanpa aturan, tanpa etika sama sekali," katanya dalam diskusi publik dengan tema "Hantam Hoaks Dengan Keterbukaan Informasi" dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Padang.

Oleh karena itu, Dirjen Niken berharap agar masyarakat berhati-hati dalam menggunakan media sosial sehingga tidak menjadi mesin produksi maupun penyebar hoaks. "Setiap informasi yang diterima harus dicek terlebih dahulu kebenarannya, terutama yang beredar di media sosial," ujarnya.

Hoaks di media sosial telah menjadi santapan penggunanya setiap hari dan tiap jam, terutama oleh generasi muda dan masyarakat pada umumnya melalui gadget yang dimiliki seperti telepon genggam pintar (Smart Phone). Organisasi wartawan tertua dan terbesar juga prihatin dengan perkembangan hoaks di media sosial.

Benteng Generasi Milenial 

Dalam acara diskusi publik tentang "Jurnalisme Media Publik di Era Milenial" terkait kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Hendry Chairudin Bangun mengatakan media mainstream harus membentengi generasi milenial agar terjauh dari hoaks atau informasi bohong yang beredar pada era digital saat ini.

"Media harus memberikan ruang kepada generasi milenial agar mampu membedakan berita yang benar dan hoaks. Jangan sampai mereka menganggap seluruh berita yang ada di media sosial benar," ujar dia.

Menurut dia, bentuk ruang yang diberikan kepada kaum milenial ini seperti penyajian berita yang menarik dan sesuai dengan selera mereka. "Inilah yang menjadi kegalauan media arus utama saat ini dalam menghadapi kaum milenial karena mereka berbeda dengan generasi yang terdahulu. Mereka menginginkan sesuatu yang instan," tambahnya.

Dalam hal ini media massa resmi harus berperan dalam membentengi generasi muda agar tidak terjerumus mengonsumsi hoaks dengan cara memberikan berita yang benar, sesuai dengan aturan jurnalistik yang ada, tambah Sekjen PWI itu "Sehingga media massa resmi menjadi rujukan bagi generasi muda yang membutuhkan berita yang valid dan dengan sendirinya hoaks yang ada di media sosial dapat terpinggirkan," ucapnya.

Presiden Joko Widodo yang hadir selama tiga hari di sana pun memberikan pernyataan penguatan kepada media massa resmi dalam menghadapi dinamika media sosial.

Dalam sambutannya pada Hari Pers Nasional 2018, Presiden Joko Widodo mengatakan tidak percaya terhadap analisis banyak pihak bahwa pada masa depan, media sosial akan mengalahkan media massa resmi. Presiden mengakui, lima tahun terakhir memang banyak sekali analisis seperti itu.

"Mungkin sekitar lima tahun belakangan kita sering mendengar berbagai analisis bahwa media massa resmi akan terus digeser oleh media sosial. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi diprediksi sulit bersaing dengan media sosial," ujar Jokowi.

"Tapi saya percaya di tengah era melimpahnya informasi, pers justru semakin dibutuhkan untuk menjadi pilar penegak penyampaian kebenaran, sebagai pilar penegak fakta-fakta, sebagai pilar penegak aspirasi masyarakat," kata dia.

HPN 2018 di Padang merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan masyarakat pers nasional yang terdiri atas Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Kali ini HPN di Padang mengangkat tema "Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan". Ketua PWI Pusat Margiono menyebutkan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Sumatera Barat paling banyak dihadiri oleh menteri kabinet. "Ada 23 menteri yang datang dan melaksanakan berbagai kegiatan HPN di Sumbar," katanya.

HPN 2018 di Padang bukan hanya diisi Festival Rendang. Mengolah daging dengan santan berempah menjadi rendang yang nikmat, tapi juga, menjadi momentum insan pers "merendang" formulasi penyajian berita yang mampu mengalahkan hoaks. Karena bertebarannya hoaks saat ini menjadi tantangan media massa resmi. (LHS)

Pewarta: Adi Lazuardi

Editor : Ni Luh Rhismawati


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018