Denpasar (Antara Bali) - Penulis dan produser film  Inggris Dr Lawrence Blair menilai, dari segi mutu dan jumlah peserta, penyelenggaraan Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) mengalami perkembangan pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Meskipun demikian perlu ditanamkan lebih dalam lagi mengenai apa itu film dokumenter, dan film dukumentasi, mengingat belum semua peserta paham tentang hal itu," kata Dr Lawrence Blair yang dipercaya menjadi salah seorang tim juri  FFDB di Denpasar, Minggu.

FFDB diselenggarakan untuk memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011.

Dr Lawrence Blair  (tim juri internasional) bersama  Slamet Rahardjo Djarot, Hadiartomo (juri nasional) serta, Rio Helmi dan Prof Doktor I Wayan Dibia (juri lokal Bali) melakukan penilaian terhadap 34 judul film dekumenter dari delapan provinsi di Indonesia.    

Peserta dari delapan provinsi  meliputi Aceh, Sumatera Utara, Jawa  Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta dan tuan rumah Bali.

Lawrence Blair  menjelaskan, dari penilaian tim juri belum semua peserta paham tentang apa beda antara film dokumenter dan film dokumentasi, sehingga kondisi itu mempengaruhi cara pandang, gaya presentasi dan pola "editing".

Beberapa karya yang mengambil pola pemaparan yang terlalu banyak bercerita secara verbal. Padahal dalam media audio visual paparan akan sangat kuat, jika sang pembuatnya menunjukkan dengan gambar-gambar yang tepat.

Oleh sebab itu perlu ditanamkan lebih dalam lagi kepada pekerja film dokumentasi, agar mampu memunculkan energi, dibalik peristiwa yang mampu memberikan inspirasi, membuka wawasan dan menguatkan kesadaran, bukan sekedar menampilkan apa yang tampak dengan menjelaskan pengertian-pengertiannya, ujarnya.

Prof Wayan Dibia menambahkan,  film dokumenter  bukan kuliah yang direkam, atau pengaduan semacam tutorial. Oleh sebab itu pembuat film dokumenter harus berani menghilangkan hal-hal yang tidak relevan. Terlalu banyak ahli atau pejabat yang berbicara dalam sebuah karya film dokumenter.

Sebaliknya yang penting daya sentuh dan daya inspirasinya, sehingga  pembuat film dokumenter harus berani melakukan editing secara "kejam" untuk menghasilkan karya yang kuat, ujar  Slamet Rahardjo Djarot menambahkan.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011