Karangasem (Antara) - Bayang-bayang ancaman erupsi Gunung Agung, tidak hanya menakutkan warga yang khawatir kehilangan jiwa atau harta benda, namun naskah lontar yang merupakan peninggalan leluhur sebagai karya bersejarah pun mendapat perhatian karena erupsi bisa membuatnya musnah.
     
Tahun 2003, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Karangasem mengadakan penelitian tentang lontar dan mendapati bahwa jenis daun yang digunakan adalah lontar taluh. Jenis ini dipilih karena memiliki serat yang tidak gampang robek atau patah ketika ditulis.
     
Bentuk lontar memiliki banyak ragam, meliputi lontar embat-embatan lontar cakepan, lontar kropak, dan sebagainya. Lontar embat-embatan yaitu naskah lontar yang tersimpan dengan cara dirangkai dan digantung.
     
Sementara itu, lontar cakepan adalah naskah-naskah yang terdiri beberapa daun lontar, lalu digabung jadi satu. Lain halnya dengan lontar kropak yang tempat penyimpanannya di dalam kropak dan masih ada beberapa jenis lontar lainnya.
     
Peneliti lontar sekaligus pengamat budaya Sugi Lanus menyebutkan, lontar yang berada di Kabupaten Karangasem berjumlah lebih dari 8.000 naskah yang masing-masing tersebar di berbagai puri dan 'geria' sebagai koleksi yang disakralkan.
     
Kabupaten Karangasem ini memiliki 75 desa dengan masing-masing desa memiliki naskah lontar sebagai peninggalan leluhur yang terus dijaga.
     
"Perkiraan kami saat ini ada 8.000 lebih lontar di Karangasem, karena itu ancaman erupsi Gunung Agung juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi kami terhadap nasib lontar itu," ujar Sugi.
     
Terkait kekhawatiran ini, ada pendekatan ke berbagai geria, puri atau tokoh masyarakat yang memiliki koleksi, agar menitipkan lontarnya kepada pihak yang dipercaya dan terjamin keamanannya.
     
Sugi menyebutkan, sebuah hotel di wilayah Sanur bahkan membuka diri dengan menyediakan tempat penitipan lontar bagi pengungsi yang memilikinya. Saat ini, di hotel tersebut telah dititipkan sebanyak 500 lontar milik pengungsi.
     
Ya, lontar merupakan budaya tulis Nusantara ketika kertas belum ditemukan. Usia lontar itu sudah ratusan tahun. Belakangan, seiring penemuan adanya kertas untuk media menulis, berimbas teramat sedikit masyarakat yang berminat untuk mempelajari isi dan teknik penulisan lontar.
     
Di antara jumlah yang sedikit ini, terdapat nama Ida I Dewa Gede Catra (81), seorang penulis lontar yang berasal dari Desa Sidemen, Karangasem. Lelaki ini sudah memulai menulis lontar sejak tahun 1984.
     
"Penulisan lontar yang saya tekuni, berdasarkan sponsor dari Museum Leiden, Belanda. Sejak dulu saya biasa berkomunikasi dengan seorang profesor dari Museum Leiden, untuk proyek penulisan lontar," ujar Dewa Catra, yang kini tinggal di Kota Karangasem itu.
     
Lontar itu ditulis menggunakan Aksara Bali Kuno. Berbagai ajaran yang dituliskan di dalam lontar, menyangkut ritual upacara, pengobatan, etika bermasyarakat, mantra, sejarah, arsitek (kosala-kosali), perbintangan, filsafat agama, nyanyian dan bahkan menyangkut persoalan hubungan suami-istri.
     
Sebagai penulis, Ida I Dewa Gede Catra telah mengoleksi 69 'cakep' lontar. Pria ini menyimpan lontar tertua yang ditulis pada tahun 1846 Masehi dengan judul Tatwa Gana Gita sepanjang 42 cm dan 49 halaman. Isi lontar mengenai perjalanan untuk menuju kesuksesan, Agama dan Ugama sebagai pegangan hidup, melalui jalan dharma.


Lontar Sebut Erupsi
     
Menyinggung Gunung Agung, Peneliti Lontar Sugi Lanus menegaskan bahwa sesungguhnya lontar sudah menyebutkan mengenai erupsi Gunung Agung, tepatnya pada Lontar Usana Bali.
     
Bahkan, seperti dituliskan dalam kolopon lontar yang disalin oleh Ida Pedanda Madé Sidemen, yaitu lontar ‘Caru Ageng Alit’ menyebutkan soal tata cara "pacaruan" (ruwat bumi) akibat bencana dan musibah.
     
Lontar ini juga menyebutkan ketika Gunung Agung meletus mengeluarkan api, menyebabkan hujan abu, berlanjut sampai bulan kesembilan Gunung Agung masih mengeluarkan api, disertai banjir lava, tidak ada hujan, dan matahari tak tampak selama sebulan.
     
Menurut dia, Ida Pedanda Made Sidemen dikenal sebagai "bhujangga siddhi" dan "bétél tinggal", yakni pendeta yang mumpuni dan mempunyai visi melihat ke masa depan.
     
Tentu tidak main-main bila meninggalkan semacam "pengeling-eling" dalam jejak tangan tulisannya.
     
"Dari pangéling-éling dalam karya beliau itulah kita sekarang diajak bercermin dan berpikir bijak, semoga segera Gunung Agung kembali tenang," ujar Sugi.
     
Tentang Gunung Agung dalam lontar itu juga diakui oleh Ida I Dewa Gede Catra sebagai penulis lontar dari Desa Sidemen.
     
Menurut Ida I Dewa Gede Catra, lontar Usana Bali mengemukakan mengenai Gunung Agung, meliputi hal yang timbul jika Gunung Agung meletus, serta membahas tentang hujan debu, pasir beterbangan, dan gempa.
     
"Lontar ini pun mendeskripsikan keadaan sebelum gunung meletus dan setelah terjadi erupsi hingga menyebabkan bencana berkepanjangan," ujar penulis yang memiliki koleksi lima lontar Usana Bali. Kelimanya memang judulnya sama, yakni Usana Bali. Namun satu sama lain isinya tidak sama persis, dan justru saling melengkapi.
     
Selain penulis lontar, di Karangasem juga banyak berdiam penekun sastra Bali maupun Jawa Kuno. Para penekun sastra ini menyimpan atau mengoleksi lontar, dan merawatnya dengan baik sebagaimana memperlakukan benda yang disakralkan.
     
Seiring meningkatnya status Gunung Agung, maka tidak mengherankan jika nasib lontar pun menjadi pertanyaan bagi pihak-pihak terkait. Apalagi pada 22 September 2017 malam, ketika status Gunung Agung pertama kali diumumkan meningkat menjadi level IV (Awas), terjadi kepanikan di mana-mana.
     
"Ketika itu, saya sampai membujuk Pak Dewa Catra agar mau mengungsi dengan ratusan lontar koleksinya," ujar I Nengah Suarya, Bendesa Desa Adat Pekraman Dukuh Penaban, Kelurahan Karangasem.
     
Pada malam itu, katanya, akhirnya terjadi evakuasi lontar dalam suasana mencekam. Ratusan buku dan salinan naskah kuno pun dievakuasi ke tempat yang aman. Proses evakuasi ini berlangsung selama empat hari, hingga terkumpul dua truk. Sebanyak 4.000 salinan lontar kemudian dipindahkan ke Denpasar.
     
"Kalau sampai Gunung Agung meletus, maka kemungkinan sampai 10 tahun ke depan, tidak akan ada daun lontar. Maka langkah evakuasi ini menjadi penting bagi penyelamatan budaya, agar naskah lontar tidak sampai menjadi kenangan belaka di kemudian hari," kata Nengah Suarya. (*)

---------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.

Pewarta: Tri Vivi Suryani *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017