Denpasar (Antara Bali) - Ibarat pariwisata di Bali, bangunan pariwisata di Pulau Dewata yang bersumber pada kebudayaan itu membentuk sebuah benturan antara nilai-nilai ekonomi atau finansial dalam konsep wisata dengan nilai-nilai tradisi atau spiritual dalam sebuah budaya.

Benturan antara wisata yang finansial dan budaya yang spiritual itu bisa menjadi "dialektika" yang saling menyapa dan beberapa kali pula saling "bertengkar". Nah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Arief Hidayat menyebut "dialektika" itu juga terjadi dalam tubuh lembaga perekonomian milik negara.

Ada dua lembaga perekonomian milik negara yang disebut oleh Ketua MK sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam "dialektika" perekonomian nasional, yakni badan usaha milik negara (BUMN) dan koperasi.

Hal itu karena BUMN dan koperasi itulah yang merupakan cermin dari Pasal 33 UUD 1945, yang mengamanatkan perekonomian disusun berdasar azas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; serta bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Saat membuka Diskusi "Konsep Ideal Tata Kelola BUMN (Perspektif Bisnis dan Ketatanegaraan / Konstitusi)" yang digelar Forum Hukum BUMN di Kuta, Bali (25/8/2017), ia menjelaskan cermin itu mengharuskan pemerintah untuk mendorong dominasi BUMN dan koperasi dalam "dialektika" perekonomian nasional.

Dorongan pemerintah untuk BUMN (dan, koperasi) itu dinilai penting olehnya, agar perekonomian nasional tidak mengikuti bandul yang terlalu ke kanan atau terlalu ke kiri.

Meski pengelolaan negara ini dilakukan secara demokratis, namun Indonesia itu beda dengan negara lain, karena demokrasi dan hukum dalam konstitusi yang ada itu tetap "disinari" Pancasila, khususnya sila Ketuhanan. "Itu cita-cita `the founding fathers` negeri ini," katanya.

Dalam konteks itulah, MK akhirnya membatalkan UU Sumber Daya Air yang bertentangan dengan konstitusi. Kalau menyangkut hajat hidup orang banyak mestinya diserahkan ke BUMN.

Ada yang melontarkan alasan HAM bahwa UU dalam konteks HAM itu universal. "Tapi, konstitusi kita tidak begitu, karena Indonesia itu beda dengan negara lain. Demokrasi dan hukum yang ada tidak boleh sepenuhnya universal, karena ukurannya adalah Pancasila sebagai `sinar` negara ini atau `watak` bangsa ini," katanya.

Oleh karena itu, perekonomian bangsa ini tidak dapat ditarik ke kanan atau ke kiri dalam sistem ekonomi yang liberal-kapitalis (bebas/pasar) atau privatisasi, karena hal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam pandangannya, privatisasi (swastanisasi) itu tidak ditolak negara ini, tapi swasta itu tidak boleh dominan, karena BUMN dan koperasi sebagai "cermin" konstitusi itulah yang harus mendominasi.

Targetnya pun sudah jelas, yakni sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak untuk dikembalikan pada kemakmuran atau kesejahteraan rakyat, bukan untuk individu atau kelompok. Konsep itu tidak bisa diserahkan kepada lembaga perekonomian yang bukan dikelola negara.

"Kalau kita mengalami dis-orientasi, maka bangsa yang bhinneka ini akan mudah mengalami dis-trust dan lambat-laun akan mengarah pada saling curiga, lalu pembangkangan dan akhirnya terjadi anarkhis atau perpecahan. Itu harus dicegah dengan kembali pada Konstitusi (UUD 1945)," katanya.

Komersial untuk Kesejahteraan

Dalam diskusi yang dirangkai dengan Rapat Umum Anggota (RUA) Forum Hukum BUMN itu, ahli hukum tata negara yang pernah menjadi hakim MK Dr H Harjono, SH, MCL menegaskan bahwa "dikuasai negara" dalam Pasal 33 UUD 1945 memang tidak harus dimaknai dengan "negara menjadi pengusaha".

Dikuasai oleh negara itu bisa saja dimaknai dengan negara dapat membuat regulasi untuk mencegah `dominasi` ekonomi. Regulasi itu bisa dengan memosisikan BUMN sebagai kepanjangan negara, tapi tetap menjadi lembaga yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis (komersial).

Ia menyarankan negara membuat klasifikasi pada bidang-bidang yang memerlukan peranan BUMN dan tidak, kemudian negara juga merumuskan apa bidang yang disebut strategis oleh negara. Dengan cara itu, negara dapat mengatur sektor perekonomian lain (swasta) tapi tetap konstitusional.

Secara sederhana, Guru Besar FEB UI Prof Firmanzah, PhD menyebut konsep "komersial untuk kesejahteraan" memang tidak sepenuhnya bisa dipercayakan kepada swasta, karena itu "komersial untuk kesejahteraan" harus dipercayakan kepada BUMN (BUMN dan koperasi).

Namun, BUMN di Indonesia itu memang tidak bisa bergerak selincah swasta, karena sektor swasta hanya diatur oleh tiga UU (UU PT, UU pasar modal, dan UU sektoral), sedangkan BUMN diikat oleh delapan UU.

Apalagi, BUMN di Indonesia juga tidak seperti BUMN di Singapura, yakni Temasek. Temasek itu dilepaskan dari "pengaruh" negara dan hanya diminta bisnis. Hal itu dibenarkan Edphawin Eddy Jetjirawat dan Law Heng Dean (Temasek) yang diundang khusus untuk menceritakan pengalamannya dalam forum itu.

Kedua orang penting di Temasek itu menyebutkan bahwa Temasek dibebaskan untuk berbisnis. Peran pemerintah hanya diwakili oleh dua orang dari mantan pejabat atau keluarga pejabat yang juga hanya hadir dalam RUPS (rapat umum pemegang saham) yang insidentil.

Model Temasek di Singapura itu disebut Prof Firmanzah yang juga Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu semacam "unit bisnis" yang dimiliki negara. Hal itu berbeda lagi dengan BUMN di Tiongkok yang justru menyatukan negara dalam bisnis, atau negara (BUMN) menjalankan bisnis.

Nah, BUMN di Indonesia tidak seperti itu, karena model BUMN di Indonesia "tidak ke kanan dan ke kiri" yakni BUMN di Indonesia itu berorientasi bisnis (komersial) tapi hasilnya tetap dipakai negara untuk kesejahteraan masyarakat (kepentingan nasionalis/sosial).

Jadi, komersial untuk kesejahteraan masyarakat. "Negara memang meminta BUMN untuk komersial, tapi komersial-nya juga dalam pengaturan negara, kemudian hasilnya dipakai untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, pemerintah membangun negara dengan dua modal, yakni APBN dan `keuntungan` BUMN, yang di dalam APBN juga ada pajak swasta," katanya.

Namun, BUMN juga menghadapi tantangan yang sama dengan swasta dalam konteks komersial, yakni pelayanan (service), dan pertumbuhan Generasi Y yang serba IT, bahkan BUMN juga masih memiliki "tantangan" berbentuk pengaruh politisi/parpol.

Walhasil, para pengelola BUMN di Indonesia itu merupakan "petarung tangguh" bila dibandingkan dengan pengelola BUMN di negara lain atau bahkan pengelola sektor swasta nasional, karena para pengelola BUMN di Republik ini memainkan dua bandul, yakni bisnis (komersial) dan kesejahteraan (kerakyatan).

"Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 yang mendorong kesejahteraan rakyat itu, kami memang harus pintar dalam berbisnis yang untung tapi juga berkontribusi untuk masyarakat, karena itu kami melakukan effisiensi dan juga melakukan peran sosial melalui BUMN Hadir untuk Negeri dan Sinergi antar-BUMN," kata Muhammad Ali dari PT PLN (Persero).  (WDY)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017