Denpasar (Antara Bali) - Polda Bali melimpahkan kasus pemalsuan dokumen kapal kepada Kejaksaan Tinggi dengan lima orang tersangka, dua di antaranya merupakan pegawai negeri sipil Kementerian Perhubungan penerima suap, mengakibatkan hilangnya potensi pajak lebih dari Rp1 miliar.

"Tersangka HS dan JES ini dua oknum PNS yang membantu memperlancar proses dokumen kapal palsu. Mereka menerima aliran dana untuk kepentingan diri sendiri, memperkaya diri sendiri," kata Kepala Sub-Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali Ajun Komisaris Besar Polisi Ida Putu Wedanajati di Denpasar, Selasa.

Menurut dia, kasus itu terungkap pada Juni 2016 ketika petugas Bea dan Cukai Bali dan Nusa Tenggara mengamankan kapal wisata mewah atau "yacht" berbendera Prancis yang diduga dirubah dokumennya menjadi kapal berbendera Indonesia.

Wedanajati mengungkapkan tersangka tersebut yakni berinisial HS (45) seorang pegawai negeri sipil di Direktorat Perhubungan Laut Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Wangi, Banyuwangi dan tersangka JES (43) PNS di kantor KSOP Benoa yang merupakan kru Kapal Negara KN-321.

Dia menjelaskan seharusnya kapal bekas dari Prancis itu masuk Indonesia membayar pajak impor barang tetapi oleh dua oknum abdi negara tersebut yang bekerja sama dengan pemberi suap membuat dokumen palsu seolah-olah kapal pesiar mini tersebut dibuat di Indonesia dan didaftarkan di KSOP Banyuwangi.

Tiga tersangka lainnya berinisial RP selaku Direktur Agen Isle Marine serta AW dan AR, keduanya selaku nahkoda kapal tidak tetap atau harian ("freelance").

Nama kapal yang sebelumnya bernama "Dream Tahiti" kemudian diganti menjadi "Dream Bali" yang saat ini bersandar di sekitar perairan Desa Serangan, Denpasar.

Wedanajati lebih lanjut menjelaskan pemilik kapal berinisial M yang berstatus saksi dalam kasus itu menyerahkan uang sebesar Rp300 juta kepada RP.

RP kemudian mentransfer Rp160 juta kepada AW dan dari AW mentransfer mepada JES sebesar Rp47 juta melalui rekening Bank Mandiri dan ada pula uang tunai Rp50 juta.

Selanjutnya JES menyerahkan kepada tersangka HS sebesar Rp20 juta untuk uang muka dokumen kapal.

Atas perintah AW, tersangka RP kemudian mentransfer uang kepada HS sebesar Rp50 juta melalui rekening Bank Mandiri sehingga total uang yang diterima HS sebesar Rp70 juta dan RP juga mentransfer uang kepada AR sebesar Rp30 juta.

Status M sebagai pemberi uang, kata dia, nantinya akan ditentukan lebih lanjut sesuai dengan fakta persidangan selanjutnya.

Penyidik memisahkan kasus tersebut menjadi dua bagian yakni tersangka yang merupakan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dengan berkas BP/16/V/2017 dan tiga tersangka lain dalam satu berkas BP/24/VII/2017.

"Dari pengakuan sementara ini baru pertama kali mereka memalsukan dokumen kapal, " imbuh Wedanajati.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka namun penyidik tidak menahan para tersangka karena dianggap kooperatif meskipun pasal yang diterapkan berlapis dengan ancaman hukuman berlaku kumulatif.

Polisi menjerat tersangka dengan pasal 5, pasal 11, pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf e, pasal 9, pasal 15, pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang. Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.

Ancaman penjara minimal paling tinggi dari setiap pasal tersebut yakni selama empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp1 miliar.

Penyidik telah memintai keterangan 27 orang saksi termasuk dua saksi ahli dari saksi hukum pidana dan hukum administrasi Universitas Udayana. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Dewa Sudiarta Wiguna


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017