Ide brilian Presiden China Xi Jinping untuk merajut kawasan
ekonomi melalui konsep satu ikatan dan satu jalan atau "One Belt, One
Road" (OBOR) bakal menghadapi tantangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Tantangan tersebut bukan dari negara-negara yang ada dalam peta OBOR yang membentang dari Eropa, Afrika, hingga Asia.
Tantangan sebenarnya berasal dari negara-negara maju yang beberapa dasawarsa sebelumnya menjadi pemimpin ekonomi global.
Sebagai
inisiator OBOR, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat
fantastis di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Namun
bukan berarti situasi tersebut akan selamanya menguntungkan negara
berpenduduk terbesar di dunia itu. Apalagi kalau Amerika Serikat
benar-benar menutup pintu bagi masuknya komoditas asing.
Terus
melemahnya nilai tukar yuan RMB terhadap dolar AS telah dicurigai oleh
Presiden AS Donald Trump sebagai salah satu cara untuk memperlancar arus
barang masuk ke negara adidaya tersebut.
Kecurigaan
Trump itu diikuti dengan keluarnya daftar nama negara, termasuk di
dalamnya ada China dan Indonesia, yang dianggap berkontribusi atas
melambatnya pertumbuhan ekonomi AS.
AS telah
menjadi negara utama tujuan ekspor China. Bahkan pangsa pasar ekspor
China ke AS mencapai 18,30 persen atau tertinggi dibandingkan dengan
negara-negara lain.
Padahal pangsa pasar
(market share) impor China dari AS hanya 8,2 persen atau peringkat kedua
di bawah Korea Selatan yang mencapai 10,23 persen.
China juga dihadapkan pada situasi perekonomian di Eropa setelah Inggris menyatakan keluar dari keanggotaannya di Uni Eropa.
Dampak
langsung dari kebijakan tersebut adalah menurunnya ekspor China ke
Inggris. Pada periode Januari-Februari 2017, ekspor China ke Inggris
tercatat hanya 7,5 miliar dolar AS.
Nilai
ekspor tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada
2016 sebesar 8,3 miliar dolar AS dan 2015 sebesar 10 miliar dolar AS.
Oleh
sebab itu tidak ada jalan lain bagi China kecuali dengan lebih
mengintensifkan hubungan dengan mitra dagang di negara-negara yang
berbatasan dengannya, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Mitra Strategis
Dalam
kunjungan kenegaraannya ke Indonesia, Presiden Xi tidak menyiakan
kesempatan berbicara di depan anggota parlemen di Senayan pada 2013.
Pada
kesempatan tersebut Xi menyampaikan gagasannya mengenai konsep OBOR
tersebut dengan mengusulkan pendirian Bank Investasi Pembangunan Asia
(AIIB) untuk mendanai pembangunan infrastruktur, mendukung konektivitas,
dan mengintegrasikan perekonomian di kawasan.
Tawaran
investasi dari China ke Indonesia pun mulai berdatangan. Salah satunya
adalah proyek pembangunan jaringan sarana dan prasarana kereta api cepat
Jakarta-Bandung.
Demikian pula dengan investasi asing langsung lainnya yang dibawa para pemilik modal dari daratan Tiongkok.
Pemerintah
China sendiri dalam berbagai kesempatan menganggap bahwa jaringan
kereta api cepat Jakarta-Bandung sebagai proyek prestisiusnya di kawasan
Asia Tenggara.
Bahkan mereka juga menganggap
proyek tersebut sebagai model percontohan efektivitas kerja sama kedua
belah pihak dengan melibatkan pemerintah dan swasta.
Meskipun demikian, Indonesia masih dianggap tidak maksimal dalam mendapatkan porsi investasi OBOR di kawasan.
Apalagi
jika ditinjau dari luas wilayah dan besarnya populasi, proyek investasi
OBOR di Indonesia masih belum mencapai angka yang ideal.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi OBOR yang masuk ke Indonesia hanya 5-6 miliar dolar AS.
Padahal
Pakistan telah merealisasikan proyek OBOR senilai 62 miliar dolar AS,
Filipina (24 miliar dolar AS), dan Malaysia (30 miliar dolar AS).
Kesempatan untuk mendapatkan porsi investasi China melalui program OBOR masih sangat terbuka.
Negara
dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 miliar jiwa itu memiliki dana 300
miliar hingga 500 miliar dolar AS untuk program investasi selama 10
tahun ke depan.
Program investasi OBOR
tersebut, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur sangat penting
bagi Indonesia guna memperlancar masuknya komoditas ekspor ke China.
Data ekspor Indonesia ke China dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang menggembirakan.
Selama
periode Januari-Februari 2017, nilai ekspor Indonesia ke China telah
mencapai angka 4,3 miliar dolar AS, naik signifikan dibandingkan periode
yang sama tahun 2016 (2,5 miliar dolar AS) dan 2015 (2,7 miliar dolar
AS).
Nilai ekspor Indonesia berada di peringkat ke-14 atau berada di bawah Malaysia (8), Thailand (11), dan Singapura (13).
Lalu
bagaimana peluang Indonesia untuk mendapatkan nilai investasi yang
ideal? Tentunya hal itu tergantung pada pertemuan 28 kepala negara dan
pemerintahan dalam Forum Kerja Sama Internasional Belt and Road di
Beijing, 14-15 Mei 2017.
Presiden Joko Widodo
selaku ketua delegasi telah mengerahkan kekuatan maksimal dengan
mengajak 11 menteri menghadiri forum tersebut.
Kekuatan
itu menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia telah melihat China
sebagai peluang, bukan ancaman seperti yang pernah dilihatnya pada abad
ke-20. (*)
------------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara yang pernah bertugas di Bali dan kini memimpin LKBN Antara Beijing.
------------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara yang pernah bertugas di Bali dan kini memimpin LKBN Antara Beijing.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017