Jakarta (Antara Bali) - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
menyarankan kepada pemerintah agar tidak menjamin penyakit yang
diakibatkan oleh rokok karena paling banyak membebani anggaran program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Bidang JKN Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Noor Arida Sofiana di Jakarta, Rabu, mengatakan beban defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam program JKN bisa dikurangi dengan mengeluarkan penyakit akibat rokok dari benefit sebagaimana pasal 25 ayat 1 poin j dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional Nomor 19 Tahun 2016.
Pasal tersebut menyatakan salah satu penyakit yang tidak ditanggung JKN ialah gangguan kesehatan akibat menyakiti diri sendiri atau hobi yang membahayakan diri sendiri.
"Anggaran JKN terserap untuk kasus katastropik dan terbanyak karena akibat rokok, sehingga perlu regulasi untuk memberikan alternatif penanggulangan defisit anggaran JKN dengan mengeluarkan penyakit katastropik tersebut," kata Arida.
Dari total beban rujukan Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik yang terdiri dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen), stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1 persen), haemofilia (1 persen).
Penyebab paling dominan penyakit-penyakit katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.
Mengingat tingginya biaya dalam penyakit katastropik, Arida menyarankan agar ada iur biaya atau pembagian biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan dan pasien itu sendiri.
Selain itu, lanjut Arida, pemerintah juga harus mencari alternatif sumber dana untuk menutupi defisit JKN dengan melibatkan pemerintah daerah guna berbagi anggaran, pengalihan alokasi subsidi ke JKN, pengalihan alokasi dana cukai rokok untuk JKN, dan penambahan cukai rokok untuk membantu tambahan dana JKN.
Dengan terpangkasnya defisit program JKN diharapkan pemerintah bisa memberikan perbaikan tarif jasa pelayanan kepada dokter dan rumah sakit untuk meningkatkan standar mutu pelayanan.
IDI menyebutkan minimnya mutu pelayanan JKN yang terjadi di lapangan didasarkan dari rendahnya tarif pelayanan jasa kepada tenaga kesehatan dan rumah sakit sehingga tak memenuhi standar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Ketua Bidang JKN Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Noor Arida Sofiana di Jakarta, Rabu, mengatakan beban defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam program JKN bisa dikurangi dengan mengeluarkan penyakit akibat rokok dari benefit sebagaimana pasal 25 ayat 1 poin j dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional Nomor 19 Tahun 2016.
Pasal tersebut menyatakan salah satu penyakit yang tidak ditanggung JKN ialah gangguan kesehatan akibat menyakiti diri sendiri atau hobi yang membahayakan diri sendiri.
"Anggaran JKN terserap untuk kasus katastropik dan terbanyak karena akibat rokok, sehingga perlu regulasi untuk memberikan alternatif penanggulangan defisit anggaran JKN dengan mengeluarkan penyakit katastropik tersebut," kata Arida.
Dari total beban rujukan Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik yang terdiri dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen), stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1 persen), haemofilia (1 persen).
Penyebab paling dominan penyakit-penyakit katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.
Mengingat tingginya biaya dalam penyakit katastropik, Arida menyarankan agar ada iur biaya atau pembagian biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan dan pasien itu sendiri.
Selain itu, lanjut Arida, pemerintah juga harus mencari alternatif sumber dana untuk menutupi defisit JKN dengan melibatkan pemerintah daerah guna berbagi anggaran, pengalihan alokasi subsidi ke JKN, pengalihan alokasi dana cukai rokok untuk JKN, dan penambahan cukai rokok untuk membantu tambahan dana JKN.
Dengan terpangkasnya defisit program JKN diharapkan pemerintah bisa memberikan perbaikan tarif jasa pelayanan kepada dokter dan rumah sakit untuk meningkatkan standar mutu pelayanan.
IDI menyebutkan minimnya mutu pelayanan JKN yang terjadi di lapangan didasarkan dari rendahnya tarif pelayanan jasa kepada tenaga kesehatan dan rumah sakit sehingga tak memenuhi standar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017