Timika (Antara Bali) - Tidak ada yang berbeda dari biji kopi mentah
berwarna hijau yang dibawa sekelompok petani kopi Amungme saat
mengikuti pelatihan dari Kementerian Perindustrian di Timika, Kamis.
Butirannya
sedang, tidak ada aroma yang menguar dari kantung belacu itu. Tapi, hal
itu tidak berlaku jika biji kopi sudah dipanggang.
“Aromanya
sangat kuat. Tahan lama, sekilas saja aromanya bisa tercium dari
beberapa meter†kata Stevanus Beana, salah satu petani kopi Amungme yang
datang ke Program Penumbuhan dan Pengembangan IKM Anyaman Noken dan
Pengolahan Kopi di Timika.
Kopi jenis arabika ini dikembangkan oleh PT Freeport Indonesia, dibudidayakan oleh suku Amungme di dekat tambang Tembagapura.Menurut
Stevanus, kopi ini ditanam di beberapa tempat di Tembagapura, antara
lain di Kampung Tsinga dan Hoya. Pengolahan hingga menjadi kopi bubuk
dilakukan di base camp.
Dalam sebulan, para
petani bisa memproduksi sekitar satu ton kopi. Biji kopi yang belum
dikupas dihargai sekitar Rp 35 ribu per kilogram.Sementara itu, kopi Amungme bubuk yang sudah dikemas dijual seharga Rp 75 ribu untuk ukuran 250 gram.
Kopi
itu tidak hanya diminati orang lokal, namun juga wisatawan mancanegara.
Informasi yang dihimpun, ekspatriat perusahaan besar itu kerap membawa
kopi Amungme saat kembali ke negara asalnya.
Direktur
Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, Aneka dan Kerajinan
Kementerian Perindustrian E. Ratna Utarianingrum, saat diwawancara
terpisah, menyatakan kopi asal Papua sudah memiliki segmen pasar, namun,
terkendala dalam publikasi.
Salah satu
strategi Kemenperin untuk mendorong IKM ini adalah dengan memberi
pelatihan dan bimbingan agar menjadi produk yang berdaya saing.“Setelah pelatihan kami lihat bagaimana perkembangannya. Sampai mereka jadi wirausaha berdaya saing,†kata Ratna.
Stevanus
berharap pelatihan seperti itu mampu menjadikan mereka mandiri dan
membantu mengatasi kendala yang mereka hadapi, seperti transportasi,
cuaca dan mesin. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017