Denpasar (Antara Bali) - Eksekusi lahan sengketa seluas 94 are (9.400 meterpersegi) di Pulau Serangan, Kota Denpasar, dinilai tidak tepat sasaran, kata Rizal Akbar Maya Poetra selaku Kuasa Hukum Termohon dari 36 kepala keluarga Kampung Bugis.
"Ini saya nilai tidak mendasar karena sesuai penetapan Mahkamah Agung (MA) Nomor 8031/PTT/2012 tertanggal 22 Maret 2012 bahwa tidak pernah ada MA mengeluarkan surat kepada panitera Pengadilan Negeri Denpasar Mustafa Jafar terkait putusan eksekusi lahan yang menjadi objek sengketa," ujar Rizal Akbar di Denpasar, Selasa.
Ia menilai, surat itu tidak pernah dibuat MA sehingga pihaknya melaporkan Haji Maisaroh selaku pemohon eksekusi telah menerbitkan sertifikat palsu yang menjadi lahan eksekusi saat ini yang sebelumnya telah dilaporkan ke Polda pada 20 Desember 2016.
"Pembuat surat yang dilakukan Haji Maisaroh bukan di lahan eksekusi ini, namun untuk lokasi tanah lainnya, sehingga Kami telah melaporkan adanya pemalsuan surat yang dilakukan pemohon (Haji Maisaroh) ke Mabes Polri," ujar Rizal.
Ia mengatakan, di dalam putusan sudah jelas tanah yang berlokasi di bagian timur yang menjadi eksekusi lahan saat ini merupakan milik Haji M. Anwar dan tanah Dinas Kehutanan.
"Yang berwenang untuk menunjukkan batas tanah yang menjadi objek eksekusi adalah Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan Kota Denpasar, kenapa yang berwenang ini tidak dilibatkan," ujarnya.
Terkait hal ini, Rizal akan melaporkan panitera PN Denpasar Mustafa Jafar terkait pidana pengerusakan. Kemudian, yang mengawal eksekusi akan dilaporkan Kabid Propam karena melakukan eksekusi yang sesat dan ada dugaan pelangaran HAM.
Selain itu, sertifikat yang dimiliki Haji Maisaroh sudah dibatalkan Kementerian Agraria secara lisan dan akan menunggu surat resminya. Hal ini dibatalkan Kementerian Agraria karena objek eksekusi tidak sesuai dengan putusan pengadilan.
"Karena yang diperkarakan Haji Maisaroh adalah tanah yang ada di bagian selatan dekat kuburan kampung bugis, namun yang disertifikatkan tanah yang ditempatkan warga bugis telah ditempati berpuluh tahun. Namun, ini justru tidak dipertimbangkan," ujarnya.
Di dalam sertifikat itu, kata dia, sudah dijelaskan tanah yang dibuat Haji Maisaroh adalah lahan pertanian dan lahan kosong. Namun, faktanya lahan itu tidak ada. Namun, justru mengklaim lahan yang ditempati warga adalah miliknya.
"Sehingga dengan kejadian ini kami tidak akan mundur dan akan gugat secara perdata maupun laporkan secara pidana ke Kabid Propam," ujarnya.
Ia mengatakan, pemalsuan sertifikat itu dilakukan pada Tahun 1992 oleh Haji Maisaroh, padahal penduduk kampung bugis setempat sudah menempati tanah itu berpuluh-puluh tahun yang diberikan sejak lama oleh Raja Puri Pemecutan.
"Kami ajukan peninjauan kembali (PK) dengan bukti-bukti baru seperti sertifikat palsu yang cacat administrasi dan melapor ke Mabes karena ada pengerusakan bangunan milik warga. Kami akan gugat secara perdata dan pidana terkait kasus ini karena melakukan pelanggaran," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Ini saya nilai tidak mendasar karena sesuai penetapan Mahkamah Agung (MA) Nomor 8031/PTT/2012 tertanggal 22 Maret 2012 bahwa tidak pernah ada MA mengeluarkan surat kepada panitera Pengadilan Negeri Denpasar Mustafa Jafar terkait putusan eksekusi lahan yang menjadi objek sengketa," ujar Rizal Akbar di Denpasar, Selasa.
Ia menilai, surat itu tidak pernah dibuat MA sehingga pihaknya melaporkan Haji Maisaroh selaku pemohon eksekusi telah menerbitkan sertifikat palsu yang menjadi lahan eksekusi saat ini yang sebelumnya telah dilaporkan ke Polda pada 20 Desember 2016.
"Pembuat surat yang dilakukan Haji Maisaroh bukan di lahan eksekusi ini, namun untuk lokasi tanah lainnya, sehingga Kami telah melaporkan adanya pemalsuan surat yang dilakukan pemohon (Haji Maisaroh) ke Mabes Polri," ujar Rizal.
Ia mengatakan, di dalam putusan sudah jelas tanah yang berlokasi di bagian timur yang menjadi eksekusi lahan saat ini merupakan milik Haji M. Anwar dan tanah Dinas Kehutanan.
"Yang berwenang untuk menunjukkan batas tanah yang menjadi objek eksekusi adalah Badan Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan Kota Denpasar, kenapa yang berwenang ini tidak dilibatkan," ujarnya.
Terkait hal ini, Rizal akan melaporkan panitera PN Denpasar Mustafa Jafar terkait pidana pengerusakan. Kemudian, yang mengawal eksekusi akan dilaporkan Kabid Propam karena melakukan eksekusi yang sesat dan ada dugaan pelangaran HAM.
Selain itu, sertifikat yang dimiliki Haji Maisaroh sudah dibatalkan Kementerian Agraria secara lisan dan akan menunggu surat resminya. Hal ini dibatalkan Kementerian Agraria karena objek eksekusi tidak sesuai dengan putusan pengadilan.
"Karena yang diperkarakan Haji Maisaroh adalah tanah yang ada di bagian selatan dekat kuburan kampung bugis, namun yang disertifikatkan tanah yang ditempatkan warga bugis telah ditempati berpuluh tahun. Namun, ini justru tidak dipertimbangkan," ujarnya.
Di dalam sertifikat itu, kata dia, sudah dijelaskan tanah yang dibuat Haji Maisaroh adalah lahan pertanian dan lahan kosong. Namun, faktanya lahan itu tidak ada. Namun, justru mengklaim lahan yang ditempati warga adalah miliknya.
"Sehingga dengan kejadian ini kami tidak akan mundur dan akan gugat secara perdata maupun laporkan secara pidana ke Kabid Propam," ujarnya.
Ia mengatakan, pemalsuan sertifikat itu dilakukan pada Tahun 1992 oleh Haji Maisaroh, padahal penduduk kampung bugis setempat sudah menempati tanah itu berpuluh-puluh tahun yang diberikan sejak lama oleh Raja Puri Pemecutan.
"Kami ajukan peninjauan kembali (PK) dengan bukti-bukti baru seperti sertifikat palsu yang cacat administrasi dan melapor ke Mabes karena ada pengerusakan bangunan milik warga. Kami akan gugat secara perdata dan pidana terkait kasus ini karena melakukan pelanggaran," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017