Denpasar (Antara Bali) - Kejaksaan Negeri Denpasar, Bali, segera mempersiapkan penahanan Cokorda Samirana, yang bergelar raja "Ngurah Jambe Pemecutan" sesuai dengan putusan tetap dari Mahkamah Agung (MA) terkait kasus penipuan dan penggelapan Rp7,6 miliar.
"Kami belum menetapkan tanggal eksekusinya, namun segera sesuai dengan salinan putusan kasasi yang telah kami terima," kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar, Ketut Maha Agung, di Denpasar, Rabu.
Ia mengakui, terdakwa yang divonis dua tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Tahun 2012 dan melalui penasehat hukumnya melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar, namun hukuman justru bertambah menjadi dua tahun enam bulan.
Kemudian, terdakwa melakukan upaya kasasi ke MA, namun permohonannya ditolak hakim agung sehingga harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar.
"Oleh sebab itu turunnya putusan PT selama dua setengah tahun itu tetap harus dilakukan karena adanya putusan dari MA," ujarnya.
Sebelumnya, kasus penipuan itu terjadi pada Tahun 2006, dimana korban Lely berniat membeli tanah milik Cok Samirana yang menjual tanah seluas sekitar 10 hektare di Jalan Badak Agung, Renon, Denpasar dengan harga Rp75 juta per are.
Kemudian, Lely sepakat membeli tanah tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan terdakwa dengan uang muka yang akan dibayarkan sebesar Rp15 miliar yang dilakukan dalam tiga tahap.
Saat Lely akan melakukan pembayaran tahap kedua sebesar Rp7,6 miliar, korban minta Cok Samirana agar memperlihatkan sertifikat tanah yang asli. Namun, terdakwa hanya menjanjikan korban segera menunjukkan sertifikat tanah tersebut.
Setelah korban datang ke notaris Gusti Ngurah Oka untuk melunasi uang muka sebesar Rp15 miliar, terdakwa tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah yang asli.
Kemudian, pada November 2006, justru muncul surat pemblokiran tanah dari keluarga Puri Satria, karena tanah di Jalan Badak Agung, Denpasar itu milik Puri Satria.
Setelah mendapatkan surat tersebut, Lely langsung bertemu dengan terdakwa untuk meminta haknya, namun terdakwa bersikeras tidak memberikan karena tanah itu miliknya.
Pada Januari 2009, korban melaporkan terdakwa ke Polda Bali karena sudah dirugikan Rp7,6 miliar. Kemudian, saat persidangan jaksa penuntut umum (JPU) Putu Supartha Jaya dan I Ketut Terima menjerat terdakwa dengan pasal 372 tentang penggelapan dan 378 KUHP tentang penipuan.
Kemudian, Tahun 2009 terdakwa menggugat korban secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dengan tuduhan wanprestasi, karena beralasan Lely berniat membatalkan pembelian tanah.
Namun gugatan tersebut kemudian ditolak, bahkan keputusan itu juga diperkuat hingga tingkat kasasi. (WDY)
Kejari Denpasar Segera Tahan "Raja Denpasar"
Rabu, 19 Agustus 2015 18:59 WIB