Taipei (Antara Bali) - Mereka tidak sedang mengantre tiket, meskipun
duduk berlesehan dari pagi sampai malam hari di lantai pualam "hall"
stasiun kereta api.
Canda dan tawa mereka memang berbeda dan kental nuansa kaum urban.
Terdengar gurauan berbahasa Jawa, meskipun sesekali diselingi Bahasa
Indonesia.
Stasiun kereta api yang berada di pusat Kota Taipei itu bukanlah
masjid atau balai RW di tengah permukiman. Stasiun yang dibangun pada
1891 bersamaan dengan dibukanya jalur kareta api dari Taipei menuju
Keelung, itu bukanlah sekadar tempat pemberhentian kereta dan
naik-turunnya penumpang.
Gedung yang dari ke waktu dimodernisasi, namun tetap mempertahankan
arsitektur aslinya bernuansa kaisar Tiongkok kuno itu bagaikan surga
bagi para pekerja asal Indonesia di Taiwan pada hari libur.
Di fasilitas publik yang mudah dijangkau dari berbagai penjuru
daerah di Taiwan itu terdapat beberapa mal, baik yang berdiri sendiri di
sekitarnya maupun di lantai bawah tanah stasiun yang mampu menampung
600 ribu orang itu. Berbagai jenis barang kebutuhan dijual dengan harga
terjangkau.
Tak peduli dingginnya lantai, yang penting pada hari libur mereka
bisa bertemu teman atau kerabat senasib dan seperjuangan di negeri
kepulauan nan-elok (Formosa) di Samudera Pasifik itu.
Dari pagi sampai malam mereka "melantai" di selingi makan dan
minum. Kalau pun lelah duduk bersila berjam-jam, badan tinggal
direbahkan. Kali ini, syal yang dikalungkan di leher untuk menghalau
udara dingin, berpindah jadi alas badan.
Saat jarum jam besar di atas loket menunjuk angka 9 malam,
satu-persatu di antara mereka mulai meninggalkan "hall". Menuruni tangga
tiga lantai menuju "platform" guna menunggu kereta yang membawa mereka
kembali ke tempat kerja.
Begitulah suasana akhir pekan dan hari libur, khususnya bagi para
pekerja asal Indonesia, di "Taipei Main Station" sebagai sebuah sistem
"hub" yang memadukan berbagai moda transportasi, seperti kereta api
reguler, kereta cepat, kereta bawah tanah (MRT), bus kota, bus
antarkota, dan taksi.
Berkah Imlek
Musim dingin masih belum berlalu. Namun nuansa Imlek sudah terasa.
Karakter China bertuliskan "Zhong Guo Xin Nian Kuaile" (Selamat Tahun
Bari China) sudah bertebaran di setiap sudut kota.
Pada sore hari, sebagian warga sudah mengeluarkan aneka bentuk
"sesajian" di depan rumah loteng. Letusan petasan dan sulutan kembang
api memecah gelapnya langit malam seakan menyampaikan pesan "tahun baru
segera tiba" (Xin Nian Kuaile).
Pernak-pernik bernuansa merah menyala dan kuning emas memadati
lapak-lapak para pedagang pasar malam yang menjamur di berbagai sudut
Kota Taipei.
Para pekerja asal Indonesia pun tak kalah suka citanya. Mereka
berdebar-debar menunggu "angpao" dari sang majikan (laoban) dengan
jumlah bervariasi.
Ada yang isi "angpao"-nya setara satu kali gaji, tetapi tidak
sedikit yang alakadarnya. Ada juga yang dalam bentuk penghargaan tahunan
melalui penilaian kinerja atau undian dengan jumlah fantastis, bisa
mencapai 400 ribu NT (sekitar Rp160 juta) seperti ramai dibicarakan di
media sosial para pekerja beberapa hari yang lalu.
Namun, bagi pekerja asal Indonesia ada yang lebih berharga daripada
sekadar "angpao laoban". Mereka, khususnya yang beragama Islam seakan
mendapatkan berkah menjelang Imlek.
Tanpa disadari, keberadaan mereka yang memanfaatkan TMS untuk
berlindung dari cuaca dingin dan hujan, mendapatkan perhatian serius
dari pemerintah Taiwan.
Pihak pengelola TMS, merelakan satu bilik tempat peristirahatan para pegawai Taiwan Railway Administration (TRA).
Bilik yang mampu menampung enam sampai delapan orang di Blok B-1
itu disulapnya menjadi tempat beribadah bagi umat Islam. Lokasinya pun
mudah dituju. Begitu turun dari kereta api di "platform" Blok B-2, naik
satu lantai menuju "locker room". Di pojok ruang loker dekat loket
pembelian tiket itulah mushala tersebut berada, pintunya pun mengarah ke
areal parkir kendaraan bermotor.
"Ini berkah Imlek," ujar Agus Susanto dari Pengurus Cabang Istimewa
Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Taiwan beberapa saat setelah mendapatkan
kepercayaan sebagai penjaga mushalla dari Kepala TMS Hsin-Li Chien,
Minggu (1/2).
Chien secara khusus memanggil jajaran PCI-NU Taiwan untuk menjaga
mushalla tersebut setiap akhir pekan. "Tolong bantu kami, jaga dan rawat
tempat itu," pesannya.
Pihaknya juga sedang menyiapkan biaya pemeliharaan dan kebersihan
mushalla tersebut. "Kalau ada masalah keamanan segera hubungi kami,"
ucapnya, kepada Agus yang saat itu didampingi Ketua PC Fatayat Taiwan
Tarnia Tari.
Kepada Chien, Agus dan Tari menyampaikan rasa terima kasihnya atas
perhatian pemerintah Taiwan terhadap umat Islam dalam menjalankan ibadah
shalat.
"Saya berharap, mushalla ini bisa dimanfaatkan seterusnya oleh umat
Islam. Tidak hanya selama kepemimpinan Bapak saja," pinta Tari yang
langsung diiyakan oleh Chien.
Chien lalu bercerita mengenai ide mulianya itu. "Mulanya ada teman
saya dari Indonesia yang datang ke mari. Dia merasa kesulitan saat
beribadah," ungkapnya.
Kesadarannya tergugah. "Betapa setiap akhir pekan banyak orang
Indonesia datang ke mari. Pasti mereka kesulitan kalau mau sembahyang,"
tuturnya.
Setelah berpikir selama beberapa hari. Akhirnya Chien mendapatkan
ide bahwa ruang istirahat pegawai itu dirombaknya agar bisa dimanfaatkan
umat Islam.
"Kami pun tahu bahwa pekerja asal Indonesia sering menggelar
kegiatan keagamaan di sini. Bahkan, mereka juga sembahyang di halaman
kami," ujarnya, menambahkan.
Sederhana, namun apa yang dilakukan Chien mampu membuka cakrawala
berpikir positif masyarakat Taiwan terhadap umat Islam. Setidaknya,
dalam sehari itu Chien dan Agus diwawancarai puluhan wartawan media di
Taiwan, baik televisi, "online" atau daring, maupun cetak, berkenaan
dengan pembukaan mushalla.
Ketua PCI Muhammadiyah Taiwan Adam Jerussalem pun mengapresiasi
pihak pengelola TMS. "Apa pun bentuknya, adanya mushalla ini patut
diapresiasi," tukasnya.
Sementara itu, Kamal Cheng, mahasiswa Jurusan Sastra dan Budaya
Arab "National Taiwan Chengchi University" Taipei, menganggap
biasa-biasa saja keberadaan mushalla tersebut.
"Memang sudah seharusnya pemerintah Taiwan menyediakan tempat
beribadah bagi umat Islam. Apalagi TMS itu setiap akhir pekan dipadati
orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam," ucapnya.
Justru dia menilai langkah tersebut terlambat karena di Bandara
Internasional Taoyuan sudah ada mushalla sejak lama. "Bagi kami itu
bukan apresiasi, melainkan sesuatu kewajaran yang seharusnya sejak lama
ada," kata Kamal. (M038/ADT)
Kado Imlek Itu Ada Di Pojok Stasiun
Sabtu, 7 Februari 2015 21:13 WIB