Oleh M Irfan Ilmie
Denpasar (Antara Bali) - Pertemuan selama tiga hari para kepala negara dan kepala pemerintahan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) telah usai dengan ditandatanganinya kesepakatan demi kesepakatan.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada 17-19 November 2011 di Nusa Dua itu, sebanyak 18 kepala negara dan kepala pemerintahan menyepakati beberapa hal, di antaranya terkait penyatuan masyarakat di kawasan dalam meraih kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Kedatangan para kepala negara dan kepala pemerintahan ke wilayah paling selatan Pulau Dewata itu bertujuan untuk menjaga saling pengertian antara satu dengan yang lainnya dalam memelihara perdamaian di kawasan.
Ribuan mil perjalanan mereka lakoni bukan untuk mencari kemenangan. Tentu saja hal itu berbeda dengan pertemuan duta olahraga antarbangsa serumpun (SEA Games) di Jakarta dan Palembang yang berjibaku di medan laga untuk memperebutkan medali.
Perhelatan akbar di Bali selama tiga selama tiga hari itu juga terasa istimewa lantaran kehadiran Presiden Amerika Serikat Barack Obama beserta Menteri Luar Negerinya Hillary Clinton.
Kehadiran Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-Moon juga melengkapi ajang pertemuan yang dikemas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-19 ASEAN itu.
Boleh jadi, selama tiga hari penyelenggaraan KTT ASEAN dan KTT terkait, Bali menjadi perhatian masyarakat internasional. Hal itu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat nama Bali sudah sangat mendunia.
Bali dikenal oleh masyarakat internasional tidak saja karena eksotisme alamnya yang menghipnotis setiap orang untuk segera menikmati dan mencumbuinya, melainkan juga perilaku masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran agama dan budaya.
Negara lain boleh saja memiliki panorama alam yang eksotik, akan tetapi negara Indonesia memiliki Bali bukan karena objek wisatanya belaka, melainkan juga kelestarian budaya masyarakatnya.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Bali menjadi salah satu barometer perekenomian nasional. Apalagi, masyarakat di belahan lain dunia, lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia.
Bisa dibayangkan, betapa pusingnya pemerintah Indonesia ketika suatu negara mengeluarkan anjuran kepada warganya untuk tidak mengunjungi (travel advisory) Bali, meskipun sering kali kebijakan negara lain itu tidak beralasan.
Pulau berjuluk "island of paradise" itu memang pernah porak-poranda oleh ulah teroris pada 2002 dan 2005. Akan tetapi, tidak adil jika bencana alam dan terorisme yang terjadi di daerah lain dijadikan alasan bagi pemerintah suatu negara untuk melarang rakyatnya berpelesir ke Bali.
Stempel "Aman"
Kehadiran Obama dan sejumlah kepala negara memaksa masyarakat internasional memusatkan perhatiannya ke Pulau Seribu Pura yang dihuni sekitar 3,6 juta jiwa itu.
Pengamat pariwisata, Dr Ir Agung Suryawan Wiranatha, beranggapan bahwa kedatangan para kepala negara dan kepala pemerintahan itu secara tidak langsung memberikan garansi kepada Bali sebagai tempat paling aman untuk dikunjungi.
"Kalau tidak aman, tentu Obama dan kepala-kepala negara lainnya tidak akan mau datang ke Bali," kata Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Denpasar itu, Rabu (23/11).
Selain membawa stempel "aman", kehadiran delegasi, kepala negara, dan kepala pemerintahan di ajang KTT ASEAN itu juga sebagai sarana promosi gratis bagi pariwisata di Bali.
"Kedatangan tamu negara itu sekaligus menjadi ajang promosi bagi pariwisata Bali. Apalagi, Obama sampai tiga hari menginap di Bali. Ini sungguh peristiwa luar biasa," kata Agung.
Dia tak membayangkan, berapa uang negara yang harus dikeluarkan untuk promosi pariwisata jika tanpa adanya penyelenggaraan KTT ASEAN.
"Ini yang harus disyukuri, tidak hanya oleh masyarakat Bali, tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia karena kedatangan kepala negara dan kepala pemerintahan itu mendapatkan perhatian utama dari masyarakat internasional," kata Sekretaris Program Doktor Pariwisata Unud itu.
Kalau pun ada sebagian masyarakat yang merasa terganggu oleh pelaksanaan KTT, seperti kemacetan jalur lalu-lintas akibat kedatangan dan kepulangan tamu negara, dia menganggap sebagai sesuatu yang wajar.
"Kemacetan lalu-lintas yang hanya satu atau dua hari itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan besarnya manfaat yang didapat dari KTT itu," kata Agung yang sempat terkena dampaknya saat menjemput rekannya di Bandar Udara Ngurah Rai itu.
Oleh sebab itu, dia berharap masyarakat bisa berpikir positif atas penyelenggaraan KTT itu demi kemajuan sektor pariwisata Bali ke depan.
Garansi sudah didapat, "travel advisory" tak lagi menyisakan tempat. Lalu upaya apa lagi yang harus dilakukan agar pariwisata Bali tidak kehilangan minat?
Untuk itu, Agung mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak terlena dengan garansi itu. Aparat keamanan tidak boleh lengah dalam menjaga keamanan objek vital dan objek wisata di Bali.
"Teroris itu tidak pernah tidur. Jangan sampai aparat keamanan lengah," kata Sekjen Bali Tourism Board 2005-2011 itu mengingatkan.
Yang tidak kalah pentingnya lagi, Pemerintah Provinsi Bali harus mampu menyediakan infrastruktur yang memadai agar wisatawan, dari mana pun asalnya, tetap betah tinggal berlama-lama di Pulau Dewata. "Percuma saja garansi dan promosi gratis dari pemimpin negara karena jalan menuju objek wisata kualitasnya buruk," kata Agung.
Demikian pula, masyarakat Bali juga harus menjaga kepercayaan dunia internasional itu melalui sikap yang bersahaja dan melestarikan nilai-nilai kedewataan.
Konflik horizontal antarwarga desa adat seperti yang terjadi di Kabupaten Bangli dan Kabupaten Klungkung tak boleh terulang selama mereka masih menginginkan Bali tetap "Santhi".(**)
Tak Ada Alasan Melarang Pelesir Ke Bali
Kamis, 24 November 2011 19:14 WIB