Akibat memohon Basuki Tjahaja Purnama jangan melontarkan kata-kata
kotor, kemudian akibat peduli nasib rakyat tergusur di Kampung Pulo,
Pasar Ikan, Luar Batang, Bukit Duri, disusul akibat memohon informasi
tentang siapa pemrakarsa Parade Papan Bunga untuk menerima anugerah
MURI, saya babak belur dihajar badai hujatan.
Hujatan itu antara lain "otak kelas dua, rasis, provokator, tua
bangka bau tanah cari popularitas, botak, jelek, pendek, bogel, kontet,
kampret, gak kualitas banyak gaya, cina tidak pilih cina, ciong sama
ahok, hater ahok, tukang ngeles".
Menyadari bahwa saya adalah manusia biasa penuh keterbatasan dan
kekurangan maka segenap hujatan saya terima sebagai peringatan bagi diri
saya untuk senantiasa mawas diri.
Oleh karena itu, saya mencoba memahami makna hujatan "otak kelas
dua" sebagai bukan hujatan namun pujian bahwa ternyata saya memiliki
otak meski cuma kelas dua.
Mengenai hujatan "botak, jelek, pendek, bogel, kontet" sah-sah saja,
akibat kepala saya memang botak, penampilan saya jika dibanding dengan
Brad Pitt memang lebih jelek dan tubuh saya memang pendek, bogel,
kontet mirip Napoleon Bonaparte, Danny De Vito, Peter Dinklage atau
Ateng.
Hujatan "rasis" juga tepat sebab saya memang rasis dalam makna
positif yaitu saya senantiasa menghargai dan menghormati sesama manusia
beda ras dengan diri saya karena dari sesama manusia yang beda ras
dengan diri saya pribadi, saya dapat belajar memperluas wawasan pandang
terhadap beranekaragam peradaban dan kebudayaan umat manusia di planet
bumi ini.
Perlu Diluruskan
Mengenai "cina tidak pilih cina" perlu sedikit diluruskan yaitu
sebenarnya saya tidak pernah merasa diri saya cina dan apabila memilih
pasti saya bukan melihat latar belakang ras cina atau bukan cina tetapi
apakah menindas rakyat atau tidak menindas rakyat.
Hujatan "hater ahok" dan "ciong sama ahok" juga perlu dikoreksi.
Saya tidak benci Ahok namun saya memang tidak setuju pada kebijakan Ahok
menggusur rakyat secara melanggar hukum, HAM, Agenda Pembangunan
Berkelanjutan, Kontrak Politik Jokowi dengan rakyat miskin, serta
Pancasila.
Mengenai saya "ciong sama Ahok" perlu diperjelas dalam hal apa. Jika
dalam hal antikorupsi jelas saya tidak "ciong" sebab sepaham dengan
Ahok, namun dalam hal bicara kotor dan kebijakan menggusur rakyat,
memang saya tidak sepaham dengan Ahok.
Hujatan "kampret" saya anggap pujian sebab saya pengagum kampret
yang mampu terbang melayang di malam hari gelap gulita tanpa
nabrak-nabrak di samping kampret ternyata memegang peran ekologis sangat
penting.
Hujatan "provokator" adalah sanjungan namun sebenarnya terlalu
tinggi bagi saya sebab para pejuang kemerdekaan Indonesia yang sangat
saya hormati adalah para provokator gerakan perlawanan terhadap
penjajah.
Hujatan "tua bangka bau tanah cari popularitas" sebagian benar
sebagian keliru. Berdasar usia yaitu 68 tahun, saya memang layak disebut
sebagai "tua bangka bau tanah".
Namun hujatan "cari popularitas" bikin saya bingung menanggapinya.
Jika saya membenarkan berarti saya ingkar kenyataan tidak pernah merasa
"cari popularitas" sebab popularitas yang mencari saya, maka pasti saya
malah akan dihujat "sombong".
Ketimbang dihujat "sombong" maka saya mengalah saja dengan
membenarkan bahwa saya memang "tua bangka bau tanah cari popularitas"
sekaligus demi memuaskan para penghujat saya.
Mohon dimaafkan bahwa hujatan "tukang ngeles" terpaksa saya anggap
sebagai pujian sebab kemampuan "ngeles" merupakan kemampuan paling
penting dalam semua ilmu bela diri termasuk tinju.
Hujatan "gak kualitas banyak gaya" 50 persen benar sebab secara
lahir-batin memang saya "gak kualitas" namun tidak benar bahwa saya
"banyak gaya" sebab saya merasa tidak memiliki hal-hal yang layak
menjadi alasan bagi saya untuk "banyak gaya".
Bersyukur
Saya bersyukur sebab akibat dihajar badai hujatan maka saya lebih
bersemangat dalam mengejawantahkan makna luhur terkandung di dalam
ajaran Jesus Kristus "Jangan Menghakimi" di mana di dalamnya juga hadir
ajaran "Jangan Menghujat".
Saya juga makin mantap dalam berupaya menghayati makna luhur
terkandung di dalam hadits Jihad Al-Nafs: Al Sukuni meriwayatkan dari
Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan
sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda:
"Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil
tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!".
Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW
menjawab: "Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar
adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!".
Mematuhi ajaran Jesus serta terinspirasi oleh hadits Jihad Al-Nafs,
maka ketimbang bersusah payah menaklukkan orang lain untuk tidak
menghujat, lebih bijak saya berupaya menaklukkan diri saya sendiri agar
jangan sampai jumawa menghujat orang lain.
Pada hakikatnya, memang kemelut hajaran badai hujatan membuat saya
bersyukur bahwa saya bukan manusia yang menghujat sesama manusia namun
manusia yang dihujat oleh sesama manusia. (*)
-------------
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaa.
Memetik Hikmah dari Badai Hujatan
Rabu, 3 Mei 2017 10:48 WIB
Pada hakikatnya, memang kemelut hajaran badai hujatan membuat saya bersyukur bahwa saya bukan manusia yang menghujat sesama manusia namun manusia yang dihujat oleh sesama manusia